Your Ad Here

Mari Menulis Sasta!!!

Laman ini dibuat untuk berbagi bersama penikmat sastra. Mari meningkatkan kembali ranah sastra Indonesia yang sudah mulai meredup ini. Bagi Anda yang ingin berpartisipasi, silakan kirim naskah sastra Anda ke; aamovi05@gmail.com dan pastikan tulisan sastra Anda ada di blog ini.
salam sastra Indonesia

Saturday, February 27, 2010

Tiada Darah di Lamalera

Oleh Martin Alaida

Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.

Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.

Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.


Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.

Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.

Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.

Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.

Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.

”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!

Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.

Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!

Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.

Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.

Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.

”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.

Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.

Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.

Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.

”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….”

Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.

Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….”

Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.***

Lelaki Yang Membelah Bulan

Oleh Noviana Kusumawardhani

Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.

“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.

”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”


Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.

Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.

Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.

”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.

”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”

Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.

Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.

Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.

Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.

”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”

Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.

Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.

”Aku menyukai matamu.”

Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi.

”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.

Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.

”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”

Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.

”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”

”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”

”Sekarang?”

”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”

Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.

Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.

”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.

”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”

Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.

”Mengapa kamu datang?”

Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.

”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”

Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.

”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.

”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”

Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.

”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”

Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.

”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.

”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”

Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.

Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.”

•Terima kasih untuk Oky S Harahap

Ubud, 26 Januari 2010

Wednesday, February 24, 2010

Unsur Intrinsik Prosa Fiksi

Pengertian

Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri daria. Tokoh dan penokohan/perwatakan tokohb. Tema dan amanatc. Latard. Alure. Sudut pandang/gaya penceritaaanBerikut ini akan dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut

I. TOKOH
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.

b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).

b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.

Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).

b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.

II. PENOKOHAN
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu

a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.

b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

c. Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu

a. Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.

b. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh.

d. Melalui pikiran-pikirannya

e. Melalui penerangan langsung.Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.

III. ALUR
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu

a. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear

b. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.

c. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.

Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
a. Bagian awal1. paparan (exposition)2. rangsangan (inciting moment)3. gawatan (rising action)
b. Bagian tengah4. tikaian (conflict)5. rumitan (complication)6. klimaks
c. Bagian akhir7. leraian (falling action)8. selesaian (denouement)
Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back. Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.

Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.

Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalaha. faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.b. Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.c. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.

Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian. Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitua. alur berdasarkan urutan waktub. alur berdasarkan urutan sebab-akibatc. alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami. Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.

IV. LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

MACAM LATAR
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitua. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
2. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
3. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.

FUNGSI LATAR
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras

V. TEMA DAN AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Ada beberapa macam tema, yaitua. Ada tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatanb. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisitc. Ada tema yang dinyatakan secara simbolikd. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya. Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, minat pribadi selera pembaca, keinginan penerbit atau penguasa Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan.Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna aniatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatana. pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya.b. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta.Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

VI. POINT OF VIEW
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.1. Pencerita orang pertama (akuan).Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu

1. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu

Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri. Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitua. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini. Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakupa. Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b. Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.c. Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita). Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitua.
a. Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c. Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d. Pengarang serba tahu.


Tips Menulis Efektif

Menulis adalah salah satu kegiatan yang sangat menakjubkan. Dengan menulis, kita bisa menuangkan ide atau gagasan yang ada di pikiran kita, menuangkan isi hati kita melalui bahasa tulisan sehingga dapat dibaca dan dipahami orang lain. Dengan menulis, kita bisa mentransfer pengetahuan dan hasil pembelajaran kita kepada orang lain sehingga bermanfaat bagi sesama musafir kehidupan. Menulis juga merupakan media aktualisasi diri.

Namun untuk melakukan kegiatan yang satu ini, tidak semua orang mudah melakukannya. Banyak di antara kita mengalami kesulitan pada waktu pertama kali hendak menulis. Kadang merasa tidak ada ide/gagasan yang mau ditulis, enggan, merasa tidak bisa, takut, atau pikiran negatif lainnya.


Untuk itu, berikut ini saya uraikan beberapa tips yang efektif untuk memermudah proses menulis yang saya dapatkan dari buku "Quantum Learning" dengan tambahan dan perubahan seperlunya.

1. Mulailah Secepatnya

Apa pun yang akan Anda tulis, mulailah sesegera mungkin untuk menuliskannya, jangan tunggu lama-lama. Jika suatu gagasan datang, segeralah menuliskannya walau Anda sedang enggan untuk menulis. Lain lagi jika Anda merasa kosong dari ide, segera duduklah di depan komputer dan hentakkan jari-jemari Anda di atas papan tekan (keyboard) atau ambillah bolpoin dan selembar kertas, pasti akan ada saja ide atau gagasan yang muncul. Dengan begitu, Anda bisa segera mulai menulis.
2. Putarlah Musik

Sambil menulis, putarlah musik kesukaan Anda untuk memerlancar arus ide/gagasan Anda. Belahan otak kiri kita bekerja berdasarkan logika dan otak kanan kita bekerja berdasarkan emosi. Dengan memutar musik, otak kanan kita ikut terstimulasi sehingga bisa menghadirkan unsur emosi pada tulisan yang membuat isi tulisan lebih hidup.

3. Pilih Waktu yang Paling Sesuai

Di antara kita, ada yang menulis dengan sangat baik pada pagi hari, sementara yang lain bisa lancar menulis di keheningan malam saat orang lain tidur lelap. Ada juga seorang penulis internasional yang aktivitas menulisnya seperti kelelawar, siang untuk istirahat, sedangkan malamnya ia habiskan untuk berkarya. Jadi, tiap pribadi punya waktu tersendiri yang paling efektif untuk menulis. Oleh karena itu, pilihlah waktu Anda yang paling dapat Anda nikmati (enjoy) untuk menulis, yang paling sesuai dengan suasana hati (mood) menulis Anda.

4. Lakukan Olahraga

Menulis merupakan aktivitas pikiran yang cukup menguras energi. Maka bila otak Anda sudah cukup tegang, segera keluarlah. Lakukan olahraga ringan agar otak mendapat cukup suplai oksigen sehingga pikiran Anda segar kembali.

5. Pecahkan Menjadi Bagian Kecil

Bila apa yang kita tulis merupakan sebuah proyek besar (seperti menulis sebuah buku, novel, dan sebagainya), maka pecah-pecahlah bagian yang besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Lalu kerjakan satu bagian pada suatu saat. Seperti memecahkan sebuah batu sebesar kerbau, kita tidak mungkin menghantamnya sekaligus. Kita pecahkan satu per satu bagian kecil terlebih dahulu, pasti lama-lama semua akan terpecahkan juga.
6. Bacalah Apa Saja

Bacalah majalah, koran, novel, cerpen, lirik lagu, puisi, ensiklopedia, buku-buku nonfiksi, peribahasa, komik, atau apa saja. Hal ini dapat menambah wawasan Anda tentang kehidupan, penggunaan bahasa, dan gaya penulisan. Hal serupa juga dikatakan oleh Bapak Ahmad Tohari (penulis trilogi: Ronggeng Dukuh Paruk – Lintang Kemukus Dinihari – Jantera Bianglala) saat saya bersilaturahmi ke rumah beliau. Dikatakan juga, beliau bisa membaca sampai sepuluh novel sebelum menulis sebuah novel. Umumnya, seorang penulis adalah juga seorang pembaca yang "lahap" dan "rakus" (maksudnya dalam hal membaca).

7. Gunakan Warna-Warna

Pada saat Anda menulis draf kasar tulisan Anda, gunakan warna yang berbeda untuk tiap-tiap bagian atau gagasan. Hal ini akan membantu Anda untuk melihat semua bagian kertas dengan lebih baik. Warna-warna yang menarik akan mengaktifkan kerja otak kanan kita yang imajinatif sehingga kedua belah otak kita bisa bekerja secara kongruen.

Pembaca yang budiman, semoga uraian di atas bisa bermanfaat bagi Anda semua, khususnya yang berkeinginan untuk belajar menulis (karya fiksi maupun nonfiksi), namun sering merasa ada sesuatu yang menghambat dalam diri Anda. Segera atasi hambatan itu dan mulailah menulis dengan penuh sukacita!

Salam sukses!

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs : Benpinter
Penulis : Agus Riyanto
Alamat URL : http://www.benpinter.com/blog/tips-menulis-efektif/

Tips Menulis Cerpen - Ary

Struktur
Para penulis pemula seringkali disarankan untuk menggunakan pengandaian berikut ini ketika mulai menyusun cerpen mereka:

1. Taruh seseorang di atas pohon.
2. Lempari dia dengan batu.
3. Buat dia turun.

Kelihatannya aneh, tapi coba Anda pikirkan baik-baik, karena saran ini bisa diterapkan oleh penulis mana saja. Nah, ikuti langkah- langkah perencanaan seperti yang disarankan di bawah kalau Anda ingin menulis cerpen-cerpen yang hebat.
Perencanaan Cerpen
Taruh seseorang di atas pohon: munculkan sebuah keadaan yang harus dihadapi tokoh utama cerita.
Lempari dia dengan batu: Dari keadaan sebelumnya, kembangkan suatu masalah yang harus diselesaikan si tokoh utama tadi. Contoh: Kesalahpahaman, kesalahan identitas, kesempatan yang hilang, dan sebagainya.
Buat dia turun: Tunjukkan bagaimana tokoh Anda akhirnya mengatasi masalah itu. Pada beberapa cerita, hal terakhir ini seringkali juga sekaligus digunakan sebagai tempat memunculkan pesan yang ingin disampaikan penulis. Contoh: Kekuatan cinta, kebaikan mengalahkan kejahatan, kejujuran adalah kebijakan terbaik, persatuan membawa kekuatan, dsb.

Ketika Anda selesai menulis, selalu (dan selalu) periksa kembali pekerjaan Anda dan perhatikan ejaan, tanda baca dan tata bahasa. Jangan menyia-nyiakan kerja keras Anda dengan menampilkan kesan tidak profesional pada pembaca Anda.
Praktekkan perencanaan sederhana ini pada tulisan Anda selanjutnya.
Tema
Setiap tulisan harus memiliki pesan atau arti yang tersirat di dalamnya. Sebuah tema adalah seperti sebuah tali yang menghubungkan awal dan akhir cerita dimana Anda menggantungkan alur, karakter, setting cerita dan lainnya. Ketika Anda menulis, yakinlah bahwa setiap kata berhubungan dengan tema ini.
Ketika menulis cerpen, bisa jadi kita akan terlalu menaruh perhatian pada satu bagian saja seperti menciptakan penokohan, penggambaran hal-hal yang ada, dialog atau apapun juga, untuk itu, kita harus ingat bahwa kata-kata yang berlebihan dapat mengaburkan inti cerita itu sendiri.
Cerita yang bagus adalah cerita yang mengikuti sebuah garis batas. Tentukan apa inti cerita Anda dan walaupun tema itu sangat menggoda untuk diperlebar, Anda tetap harus berfokus pada inti yang telah Anda buat jika tidak ingin tulisan Anda berakhir seperti pembukaan sebuah novel atau sebuah kumpulan ide-ide yang campur aduk tanpa satu kejelasan.
Tempo Waktu
Cerita dalam sebuah cerpen yang efektif biasanya menampilkan sebuah tempo waktu yang pendek. Hal ini bisa berupa satu kejadian dalam kehidupan karakter utama Anda atau berupa cerita tentang kejadian yang berlangsung dalam sehari atau bahkan satu jam. Dan dengan waktu yang singkat itu, usahakan agar kejadian yang Anda ceritakan dapat memunculkan tema Anda.
Setting
Karena Anda hanya memiliki jumlah kata-kata yang terbatas untuk menyampaikan pesan Anda, maka Anda harus dapat memilih setting cerita dengan hati-hati. Disini berarti bahwa setting atau tempat kejadian juga harus berperan untuk turut mendukung jalannya cerita. Hal itu tidak berarti Anda harus selalu memilih setting yang tipikal dan mudah ditebak. Sebagai contoh, beberapa setting yang paling menakutkan bagi sebuah cerita seram bukanlah kuburan atau rumah tua, tapi tempat-tempat biasa yang sering dijumpa pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka. Buatlah agar pembaca juga seolah-olah merasakan suasana cerita lewat setting yang telah dipilih tadi.
Penokohan
Untuk menjaga efektivitas cerita, sebuah cerpen cukup memiliki sekitar tiga tokoh utama saja, karena terlalu banyak tokoh malah bisa mengaburkan jalan cerita Anda. Jangan terlalu terbawa untuk memaparkan sedetail-detailnya latar belakang tiap tokoh tersebut. Tentukan tokoh mana yang paling penting dalam mendukung cerita dan fokuskan diri padanya. Jika Anda memang jatuh cinta pada tokoh-tokoh Anda, pakailah mereka sebagai dasar dalam novel Anda kelak.
Dialog
Jangan menganggap enteng kekuatan dialog dalam mendukung penokohan karakter Anda, sebaliknya dialog harus mampu turut bercerita dan mengembangkan cerita Anda. Jangan hanya menjadikan dialog hanya sebagai pelengkap untuk menghidupkan tokoh Anda. Tiap kata yang ditaruh dalam mulut tokoh-tokoh Anda juga harus berfungsi dalam memunculkan tema cerita. Jika ternyata dialog tersebut tidak mampu mendukung tema, ambil langkah tegas dengan menghapusnya.
Alur
Buat paragraf pembuka yang menarik yang cukup membuat pembaca penasaran untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Pastikan bahwa alur Anda lengkap, artinya harus ada pembukaan, pertengahan cerita dan penutup. Akan tetapi, Anda juga tidak perlu terlalu berlama-lama dalam membangun cerita, sehingga klimaks atau penyelesaian cerita hanya muncul dalam satu kalimat, dan membuat pembaca merasa terganggu dan bingung dalam artian negatif, bukannya terpesona. Jangan pula membuat "twist ending" (penutup yang tak terduga) yang dapat terbaca terlalu dini, usahakan supaya pembaca tetap menebak-nebak sampai saat-saat terakhir. Jika Anda membuat cerita yang bergerak cepat, misalnya cerita tentang kriminalitas, jagalah supaya paragraf dan kalimat-kalimat Anda tetap singkat. Ini adalah trik untuk mengatur kecepatan dan memperkental nuansa yang ingin Anda sajikan pada pembaca.
Baca ulang
Pembaca dapat dengan mudah terpengaruh oleh format yang tidak rapi, penggunanaan tanda baca dan tata bahasa yang salah. Jangan biarkan semua itu mengganggu cerita Anda, selalu periksa dan periksa kembali.

Bahan diterjemahkan dan diringkas oleh Ary dari
sumber:
http://www.write101.com/shortstory.htm

Antara Fiksi dan Non-Fiksi

Penulis : Ary Cahya Utomo

Sastrawan menulis buku non-fiksi? Bukan hal aneh. Ilmuwan atau wartawan menulis cerpen atau novel? Juga banyak. Umberto Eco menulis novel "In the Name of Rose" sebaik ia menulis teori-teorinya tentang semiologi, Jean Paul Sartre dikenal sebagai tokoh filsafat namun ia dinobatkan sebagai pemenang Nobel Sastra atas karya novelnya, Sihar Ramses Simatupang adalah wartawan Sinar Harapan yang tahun lalu meluncurkan sebuah novel berjudul Lorca, dan banyak lagi contoh lainnya. Walaupun menekuni satu bidang memang baik karena keterbiasaan akan membuat kualitas tulisan kita lebih bagus, namun tak ada salahnya jika sesekali kita mencoba bentuk tulisan lain.

Bagi penulis pemula, terutama yang sudah merasa 'nyaman' dengan jenis tulisan yang ia geluti (fiksi atau non-fiksi) membuat suatu tulisan yang berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan kesulitan sendiri. Berikut beberapa tips yang mungkin bisa Anda coba untuk mengatasi kesulitan tersebut:

1. Sesuaikan referensi bacaan. Sebagaimana bahan bacaan seringkali (kalau tidak selalu) mempengaruhi cara atau kecenderungan kita dalam menulis, banyak membaca tulisan tertentu juga akan mampu mengubah apa yang kita tulis. Jadi jika ada orang yang ingin membuat sebuah tulisan fiksi yang baik, saya yakin dia tidak akan mampu melakukannya kalau ia hanya membaca buku-buku teori yang berjudul "Bagaimana Cara Menulis Fiksi yang Baik" sekalipun. Pelajaran paling baik adalah dengan terjun langsung ke kancah bacaan fiksi itu sendiri, bukan hanya menjadi pengamat dari luar. Hal yang sama juga terjadi pada kasus sebaliknya. Seorang yang ingin mampu menulis karya non- fiksi atau ingin merancang sebuah jurnal ilmiah akan sulit untuk menyampaikan idenya secara sistematis, analitis dan jelas jika ia malah membaca karya Shakespeare yang memakai bahasa yang penuh metafora.

2. Bagi yang ingin menulis tulisan non-fiksi. Tulisan jenis ini menuntut kata-kata yang dapat dengan efektif menjelaskan makna. Karenanya, latihlah diri Anda untuk menulis kalimat-kalimat bermakna tunggal, tidak bersayap, atau dengan prinsip satu paragraf satu ide. Karenanya kata-kata yang digunakan hendaknya juga lugas, jelas, dan sebisanya menghilangkan metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat di bacaan sastra. Sebaliknya, bagi yang ingin menulis fiksi. Memperluas pengetahuan kosakata, kiasan, dan melatih penempatannya dalam kalimat adalah sangat penting untuk narasi maupun dialog dalam fiksi.
3. Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara non-fiksi dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi bagi yang ingin menulis fiksi, latihlah kreativitas daya imajinasi dan juga kemampuan mendramatisasi suatu adegan. Bagi yang ingin menulis non- fiksi, berlatihlah menulis dengan selalu memperhatikan unsur-unsur seperti 5W1H, cara mengutip dan menempatkan referensi, logika berpikir tulisan dsb.
4. Berlatih dan berlatih. Seperti halnya setiap masa belajar dan penyesuaian, proses ini juga membutuhkan banyak latihan. Tak jarang ketika mencoba menulis non-fiksi, seorang yang terbiasa menulis fiksi akan dikritik bahwa tulisannya berbelit-belit, tidak fokus dan membingungkan pembaca. Seorang yang terbiasa menulis non-fiksi pada awalnya mungkin juga akan dikritik cerpen buatannya terlalu kering, bahasanya kaku dan kurang ekspresif. Ini adalah wajar, jadi jangan putus asa.
5. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya. Tanpa niat untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah ide, sebuah tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan berakhir menjadi sebuah tulisan komentar sambil lalu yang mudah disanggah. Sementara tanpa ketekunan untuk melatih teknik narasi dan dramatisasi, sebuah tulisan yang dimaksud sebagai cerpen sastra hanya akan menjadi sebuah cerita bohong.

Menulis Tentang Diri Sendiri

Oleh :Hernowo

Laurel Schmidt telah menciptakan buku yang indah. Dia membuat buku yang didasarkan pada teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) temuan Howard Gardner. Bukunya itu diharapkan dapat membantu para orangtua dan guru dalam rangka melejitkan pelbagai kecerdasan yang telah dimiliki setiap anak.

Buku Schmidt yang diberi judul "Seven Times Smarter" (diterjemahkan Penerbit Kaifa menjadi Jalan Pintas Menjadi Tujuh Kali lebih Cerdas) memang ditujukan untuk membangkitkan potensi kecerdasan seorang anak sejak sangat dini. Schmidt, dengan menarik, menguraikan pandangannya sembari mengisahkan masa kecilnya.

Itulah yang kemudian membuat buku Schmidt ini berbeda dan indah. Indah lantaran buku itu mampu sekaligus mengenang masa-masa kanak- kanaknya saat dia ditumbuhkan oleh keluarganya. Dan, sebagaimana buku pembelajaran yang ditujukan untuk mengembangkan potensi anak- anak, Schmidt menekankan sekali soal pentingnya bermain dalam mengajari dan melatih anak-anak sesuatu.


Di sini akan dikutipkan sedikit saja pandangan Schmidt berkaitan dengan upayanya untuk membantu para orangtua dan guru dalam melejitkan potensi word smart (kecerdasan berbahasa) sejak dini. Bagi yang berminat lebih jauh untuk memahami gagasan Schmidt dalam konteks yang luas dan dalam, silakan membaca buku tersebut.

Buku yang Menyimpan Rahasia
Apa yang dimaksud oleh Schmidt tentang "buku yang menyimpan rahasia"? Berikut kisah Schmidt. Silakan Anda menikmatinya. Kisah Schmidt tentang "buku yang menyimpan rahasia" ini sepertinya cocok untuk menjadi pembuka bagi penjelasan lebih jauh tentang jenis-jenis tulisan seperti apa yang mengisahkan tentang diri sendiri. Pernahkan Anda memandangi foto Anda sewaktu masih kecil, lalu muncul pertanyaan dalam benak Anda: "Apakah waktu itu aku bahagia?" Kalau saja Anda sempat membuat buku harian, Anda tentu akan tahu jawabannya. Buku harian bisa memberi keterangan tentang foto-foto masa kecil lho. Oleh karena itu, segeralah Anda membuat "sejarah" untuk masa depan Anda dengan membuat buku harian yang sederhana.

Jangan menganggap enteng nilai sebuah buku harian. Setiap masukan -- coret-coret, yang Anda baca dan baca ulang -- merupakan peluang bagi sosial, dan bakat seni Anda. Anda bisa mengenali diri Anda. Anda lalu bisa menentukan diri Anda mau ke mana dan mau jadi apa Anda nanti. Berikut ini beberapa hal menarik yang dapat Anda petik dari buku harian Anda.
# Mencurahkan perasaan ke dalam buku harian dapat membantu Anda melampaui masa-masa sulit dalam kehidupan Anda. Menulis buku harian bisa membantu saat Anda merasa sedih, merasa tidak dicintai, merasa tidak toleran, atau saat Anda merasa bodoh, sementara tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan Anda. Menemukan cara untuk mengurangi perasaan sedih merupakan salah satu fungsi penting kecerdasan interpersonal. Siapa saja yang bisa melakukan ini akan mampu membangun ketabahan, di samping kemampuan untuk terus maju dan berkembang.
# Menuliskan rasa marah, harapan, ketakutan, kecemburuan bisa mencegah Anda dari menguburkan emosi Anda dalam-dalam, yang menyebabkan emosi itu sulit diraih kembali. Penggunaan huruf besar, tanda seru, atau kata sifat saat menulis buku harian merupakan cara Anda berteriak tanpa harus membangunkan tetangga.
# Buku harian layaknya sebuah ruangan yang dapat Anda datangi apabila Anda ingin menggali keanehan diri Anda dan menyendiri, tanpa perlu terus diawasi atau disensor.
# Buku harian bisa menjadi teman yang aman untuk menyimpan khayalan tentang kemasyuran, kekayaan, dan cinta sejati, tanpa takut akan penolakan. Semua bentuk khayalan tersebut dapat membantu Anda memimpikan berbagai cara untuk meraih cita-cita yang bisa dicapai.
# Jurnal atau buku harian bisa menjadi laboratorium bagi Anda yang memiliki kecerdasan di bidang bahasa. Inilah tempat para penulis muda mencoretkan gagasan mereka, yang mungkin saja berkembang menjadi novel, cerita pendek, kumpulan sajak, atau buku riwayat hidup.

Jenis Tulisan yang Mengisahkan Ihwal Diri Anda
CATATAN HARIAN
Tulisan dalam bentuk catatan yang merekam kegiatan sehari-hari seseorang. Sifat tulisan ini, kebanyakan, sangat personal dan merupakan potret-diri si penulisnya. Biasanya pula, ciri tulisan yang ada di sebuah catatan harian menggunakan kata ganti orang pertama ("aku" atau "saya"). Sifat tulisan catatan harian memang sangat personal. Tulisan ini bercerita tentang pengalaman hidup si penulis catatan harian.

Kadang, apabila kita membaca buku yang diangkat dari catatan harian, kita akan menjumpai sosok "keegoisan" sebuah buku. Buku itu hanya menceritakan diri sang penulis. Sepertinya, buku itu mengabaikan hiruk-pikuk dunia luar. Namun, memang, catatan harian kebanyakan hanya memperhitungkan dunia-batin, "dunia dalam" si penulis. Catatan harian dimanfaatkan benar oleh si penulis untuk menjelajah inner-space. Catatan harian juga banyak dimanfaatkan oleh para penulis untuk senantiasa menggali sumber mata air demi keperluan penulisan.

Pengalaman, tentu tak akan ada habis-habisnya. Setiap hari, pengalaman dikumpulkan oleh setiap orang. Pengalaman seseorang tentu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Lewat catatan harian, pengalaman itu distrukturkan, dikristalkan, dan diberi sentuhan karakter diri si penulis catatan harian. Inilah bahan tulisan yang mahal harganya apabila kelak dapat dipublikasikan dalam bentuk yang beragam.

BIOGRAFI
Tulisan-tulisan yang dibukukan yang menguraikan riwayat hidup seorang tokoh. Kadang, buku semacam ini ditulis setelah orang yang ingin diceritakan riwayat hidupnya itu sudah meninggal. Di dalam penulisan buku biografi ini memang diperlukan orang lain untuk menuliskannya. Buku dalam bentuk biografi sebenarnya sangat layak dibaca oleh siapa saja. Di dalam buku biografi kita dapat belajar dari pengalaman orang lain. Dan, enaknya, pengalaman orang lain itu sudah disistematisasi sedemikian rupa sehingga kita tinggal "mengunyah" secara perlahan-lahan. Belajar dari pengalaman orang lain, terutama apabila pengalaman itu berisikan kisah-kisah meraih sukses dan prestasi, tentu amat diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup kita.

AUTOBIOGRAFI
Tulisan-tulisan yang mengisahkan riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri. Kadang seseorang yang rajin menulis catatan harian akan lebih mudah menuliskan sendiri riwayat hidup pribadinya. Tentu saja, buku autobiografi sifatnya lebih luas daripada catatan harian. Apabila catatan harian penceritaannya mengambil bentuk kronologis secara sangat ketat dan di dalamnya tercantum tanggal, hari, bulan, tahun, dan bahkan jam, buku autobiografi lebih terbuka dan tidak seketat catatan harian.

Tidak banyak tokoh yang menulis sendiri biografinya. Biasanya tokoh- tokoh terkenal yang menulis sendiri biografinya adalah yang memang menekuni dunia tulis-menulis atau menjadi penulis. Apabila tokoh tersebut tidak menjadi penulis, biasanya yang menuliskan riwayat hidupnya adalah penulis lain dan bentuknya menjadi biografi.

MEMOAR
Semacam kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya.

Buku memoar dapat disebut sebagai buku semi autobiografi yang diperluas dan dibuat seobjektif mungkin. Di dalam memoar, biasanya pandangan si penulis memoar sangat dominan dan cenderung "menang sendiri". Ini wajar saja sebab memoar memang dibuat untuk memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menyatakan pendapat yang dahulu tidak sempat dinyatakan. Demikian pembaca, contoh-contoh buku yang menceritakan diri sendiri. Kualitas buku-buku jenis seperti ini- apabila dipublikasikan ke khalayak yang lebih luas bergantung satu hal: kejujuran.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Buku : Quantum Writing
Penerbit : MLC, Bandung, 2003
Hal : 205 - 211

Teknik Menulis Cerpen

Bagi mereka yang ingin menjadi novelis besar, tak ada salahnya memulai karir dengan menulis cerpen terlebih dahulu. Dalam situs www.write101.com (diterjemahkan oleh Ary), terdapat sebuah teknis sederhana yang bisa dijadikan jalan masuk memahami bagaimana caranya menulis cerpen itu. Jelasnya sebagai berikut;

Ketika mulai menyusun cerpen;

1. Taruh seseorang di atas pohon.
2. Lempari dia dengan batu.
3. Buat dia turun.

Kelihatannya aneh, tapi coba pikirkan baik-baik, karena saran ini bisa diterapkan oleh penulis mana saja. Nah, ikuti langkah-langkah perencanaan seperti yang disarankan di bawah kalau ingin menulis cerpen-cerpen yang hebat.

Perencanaan Cerpen

Taruh seseorang di atas pohon, munculkan sebuah keadaan yang harus dihadapi tokoh utama cerita.

Lempari dia dengan batu. Dari keadaan sebelumnya, kembangkan suatu masalah yang harus diselesaikan si tokoh utama tadi. Contoh, Kesalahpahaman, kesalahan identitas, kesempatan yang hilang, dan sebagainya.

Buat dia turun, Tunjukkan bagaimana tokoh Anda akhirnya mengatasi masalah itu. Pada beberapa cerita, hal terakhir ini seringkali juga sekaligus digunakan sebagai tempat memunculkan pesan yang ingin disampaikan penulis. Contoh, Kekuatan cinta, kebaikan mengalahkan kejahatan, kejujuran adalah kebijakan terbaik, persatuan membawa kekuatan, dsb.

Ketika Anda selesai menulis, selalu (dan selalu) periksa kembali pekerjaan Anda dan perhatikan ejaan, tanda baca dan tata bahasa. Jangan menyia-nyiakan kerja keras Anda dengan menampilkan kesan tidak profesional pada pembaca Anda.

Bagaimana, sudah paham? Teknik tersebut adalah langkah sederhana yang menjadi bekal awal untuk menulis cerpen. Selanjutnya, perlu diperhatikan beberapa teknik berikut;

1. Tema. Dalam sebuah cerpen, tema perlu kita pegang. Tema inilah yang menjadi benang merah ketika seorang cerpenis mulai bekerja. Seperti dalam karya non fiksi dimana ada gagasan utama, dalam cerpen juga begitu, gagasan utamanya tetap harus kuat terasa ketika orang selesai membaca karya cerpen yang dibuat oleh seorang pengarang.

2. Alur. Alur ini perlu dibangun secara lengkap. Dalam arti terbaca jelas bagaimana pembukaan, pemunculan konflik dan pada akhirnya sang pengarang mengakhiri sebuah cerita. Satu hal yang sering terjadi, pengarang terlalu bertele-tele dan berlama-lama dalam pembukaan cerita sehingga bagian konflik dan penyelesainnya malah menggantung. Nah, porsi masing-masing perlu diseimbangkan agar cerita menjadi utuh.

3. Kharakter tokoh. Dalam cerpen, usahakan tokoh tidak terlalu banyak. Justru, yang paling penting adalah bagaimana membuah tokoh rekaan dalam sebuah cerpen tersebut bisa dikenang oleh pembaca.

4. Dialog. Dalam membangun dialog juga berlaku sama. Perlu dibangun kekuatan kata-kata yang keluar dari sang tokoh dalam cerpen. Kata-kata yang menggugah, menginspirasi atau memberikan kesan khas pada sang tokoh yang mengucapkannya.

5. Setting. Tempat kejadian usahakan begitu dekat dengan pembaca. Jika sulit, imajinasikan dan narasikan tempat-tempat itu agar terkesan khas sehingga pembaca akan bisa merasakan seolah-olah tempat itu ada, unik dan menarik.

6. Sepenggal kisah. Dalam cerpen, cukup ceritakan sepenggal kisah saja. Jangan terlampau mendedahkan kisah sang tokoh dalam rentang waktu berhari-hari atau berbulan-bulan. Bahkan, kisah satu jam bahkan 10 menit sang tokoh pun cukup asalkan memang menarik.

Dari kisah nyata menjadi cerpen.

Sebagai tambahan, dibawah ini ada tips menarik bagaimana mengangkat kisah nyata menjadi sebuah cerpen (saya comot dari blognya Jonru, www.jonru.multiply.com).

Emangnya sinetron Islam aja yang dibikin berdasarkan kisah nyata. Cerpen juga bisa kok. Dan sebenarnya, ini bukan “barang baru”. Sebab, nyaris semua pengarang pernah menulis cerpen berdasarkan kisah nyata, baik itu pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain atau kejadian tertentu yang dilihat oleh si pengarang.

Lantas, kenapa harus dibahas di topik ini? Apa istimewanya?.

Saya merasa perlu membahasnya, karena baru-baru ini saya membaca dua cerpen dari dua orang teman yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Setelah saya baca, terus terang saya kecewa. Sebab cerpen tersebut sama persis dengan cerita aslinya. Isi cerita, alur cerita, semuanya sama. Yang berbeda hanya nama-nama tokoh dan settingnya. Selain itu, cerpennya pun disampaikan dengan gaya yang biasa-biasa saja.

Sebenarnya, dalam mengangkat sebuah kisah nyata ke dalam cerpen, bagaimana teknis menulis yang baik?

Secara umum, tekniknya sama saja dengan teknik penulisan lainnya. Tapi menurut saya, yang perlu diingat adalah: kisah nyata tersebut hanyalah sebuah IDE. Sebagai ide, kita bebas mengembangkannya. Mau kita ubah ceritanya, ditambahi, dikurangi, dan seterusnya, semua terserah kita. Tak ada yang melarang. Toh kisah nyata itu bukan sebuah sejarah, hanya peristiwa sehari-hari yang biasa.

Memang, bukan berarti kita tidak boleh membuat cerpen yang isinya sama persis dengan kisah nyatanya. Ya boleh-boleh saja, dong. Yang saya maksud pada topik ini adalah: Kita jangan sampai berpikir bahwa cerpen yang kita tulis tidak boleh merubah sedikit pun kisah nyatanya. Sebab sekali lagi, kisah nyata tersebut bukan sebuah sejarah. Sekadar berbagi tips, berikut adalah contoh langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam mengubah sebuah kisah nyata menjadi cerpen.

• Carilah bagian dari kisah nyata itu yang kita anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, lupakan saja.
• Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan kita.
• Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar ceritanya menjadi lebih bagus.

Setelah itu, kita bisa langsung menulis cerpennya. Saat menulis ini, kita sudah boleh membuang jauh-jauh si kisah nyata tersebut. Lupakan saja. Toh kita sudah punya modal berupa ke-3 poin di atas.

Yang juga penting, jangan merasa “terbebani” oleh hal-hal yang melekat pada kisah nyata tersebut, sebab kita bisa mengubah semuanya sesuka kita. Sebagai contoh, si pelaku pada kisah nyata adalah seorang pria. Ketika diubah jadi cerpen, jenis kelaminnya kita ubah jadi wanita. Atau, kisah nyata ini terjadi di Jakarta, tapi pada cerpennya diubah menjadi New York. Dan seterusnya. Ini semua boleh-boleh saja. Asalkan cerita yang kita buat tetap logis (masuk akal) dan menarik. (yons achmad)

Cara Jitu Menulis Cerpen

Oleh : Liga Alam M

Kenapa Kita Menulis?

Pertanyaan ini merupakan kunci motivasi seorang penulis. Untuk apakah kita menulis? Mari kita simak jawabannya melalui sebuah kisah nyata di bawah ini. Usianya masih sangat muda, 13 tahun. Kala itu bulan Juni 1942, pertama kalinya ia menulis dalam buku diarinya. Beberapa bulan kemudian, bersama orangtuanya, ia bersembunyi di sebuah loteng gelap karena sedang diburu oleh rasisme Nazi yang sedang ganas-ganasnya. Seringkali ia mendengar suara deru pesawat tempur dan rentetan senjata api yang mengawang di atas Secret Annex itu.

Untuk mengisi hari-hari panjangnya di tempat persembunyian tersebut dan untuk mengatasi rasa takutnya, ia mencurahkan segala perasaannya dalam sebuah buku diari, catatan harian, yang dikemudian hari mengatarkannya menjadi seorang ‘pengisah sejati’ yang terkenal di seluruh dunia. Gadis itu bernama Anne Frank.

Aku berharap, demikian ia mengawali tulisannya pada diarinya yang diberinya nama Kitty, aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan pada siapapun sebelumnya, aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku.

Berbulan-bulan ia tidak melihat matahari dan tidak mengetahui dunia luar. Namun ia terus saja menulis, “…aku suka menulis, banyak hal yang terlampau menIk dan luar biasa dalam hatiku, akan aku tumpahkan lewat tulisan. Kertas memiliki kesabaran yang lebih ketimbang manusia.”

Pada bulan April 1944 ia curhat pada diarinya bahwa ia rindu ingin sekolah lagi, Andai perang tidak juga berakhir bulan September, aku tidak akan kembali ke sekolah… Memang Anne Frank tidak pernah lagi melanjutkan sekolahnya hingga akhir hayatnya.

Karena pada tanggal 4 agustus pagi, delapan orang yang bersembunyi di Secret Annex, termasuk Anne Frank, disergap oleh intelejen bayaran Nazi lalu digiring ke Penjara, lalu ke kamp pembuangan sampai akhirnya dicampakkan ke sebuah kamp mengerikan di dekat Hannover (Jerman) tahun 1945. Bersama dengan impian remaja dan cita-citanya, akhirnya Anne Frank meninggal dunia karena terlalu lelah, sakit dan lapar. Mayatnya dibuang ke sebuah pemakaman umum Bergen-Belsen. Ia mati dalam usia belasan tahun tanpa sempat tahu bahwa beberapa waktu kemudian, setelah perang usai, diari-nya ditemukan oleh petugas berceceran di lantai Secret Annex yang akhirnya menjadi sebuah dokumen sejarah yang dipublikasikan di seluruh dunia.

Nah, dari kisah di atas kita dapat memetik pelajaran penting bahwa menulis adalah sebuah cara untuk mendokumentasikan segala pikiran, pengalaman dan imajinasi kita ke dalam bentuk tulisan. Untuk melengkapi jawaban ini, saya masih ingin mengutip penggalan-penggalan bagus dari diari Anne, Saat aku menulis, aku dapat meluruhkan seluruh deritaku. Ketakutanku lenyap, gairah hidupku bangkit kembali! ….. aku berharap, semoga bisa, oh, aku sangat berharap, hanya dengan menulis aku dapat merekam segalanya, seluruh pikiran, ide dan fantasiku. Pada awalnya, si Anne tidak berpikir kalau buku diarinya akan dipublikasikan secara luas. Ia menulis untuk dibaca sendiri dan berdasarkan motivasi seperti yang diuraikannya di atas.

Sebetulnya, dipelajari atau tidak, menulis itu tetap mengiringi hidup kita sehari-hari karena memang sudah menjadi kebutuhan. Baik untuk kepentingan resmi seperti mengerjakan tugas sekolah/kuliah/kantor, maupun untuk keperluan yang lebih bersifat privasi seperti menulis surat cinta, sms atau menulis curahan hati di buku diari.

Sesuai dengan jenis tulisannya, aktifitas menulis memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Menulis laporan penelitian tentu tidak sama dengan menulis novel. Demikian juga dengan menulis artikel yang berbeda dengan menulis cerpen. Oleh karena itu menulis amat penting untuk dipelajari dan dipraktekkan.

“Kalau berbulan-bulan anda pelajari teori ‘berenang’ tanpa pernah menyentuh air, maka percayalah anda tidak akan pernah bisa berenang. Sebaliknya kalau anda dilempar ke dalam kolam renang dua atau tiga kali, besar kemungkinan anda akan otomatis menguasai teknik keseimbangan tubuh yang merupakan kunci utama ilmu renang. Demikian juga dengan ilmu mengarang. Anda harus akrab dengan buku dan alat tulis yang memang dikhususkan untuk mengarang”.

Kegiatan menulis sangat berguna, terutama dalam mendokumentasikan sesuatu, entah kisah hidup kita, kisah ‘special’ yang kita anggap perlu dikenang selamanya hingga peristiwa sejarah. Tradisi lisan mudah hilang dalam ingatan, sebaliknya tulisan akan selalu abadi sepanjang masa (begitu kata orang).
Berikut ini beberapa tips yang akan memudahkan anda dalam menulis, terutama menulis cerita pendek.

Menulis Harus Ada Minat.
Langkah pertama untuk menjadi seorang penulis adalah: ada keinginan yang kuat untuk menjadi seorang penulis. Ada gairah yang menggebu-gebu untuk menulis. Gairah ini akan mengantarkan kita pada semangat ‘saya pasti bisa’. Tanpa itu, hanya akan melahirkan seorang penulis iseng yang se-ala kadarnya saja.

Rajinlah Membaca.
Seringkali kita membaca buku hanya pada saat menjelang ujian (sekedar untuk kepentingan merebut nilai tinggi). Membaca, hanya sekedar menghafal. Membaca yang dimaksud di sini adalah benar-benar untuk mengerti, memahami dan menikmati isi buku. Jika anda ingin menjadi seorang kolomnis maka banyaklah membaca opini di media massa. Jika anda ingin menjadi seorang novelis atau cerpenis maka banyaklah membaca novel dan cerpen yang memungkinkan anda ani mencerna, menikmati dan meniru isinya. Agar bisa menulis, usahakanlah banyak membaca. Hanya perlu dicatat, mulailah dengan membaca sesuatu yang mudah dimengerti dan sesuaikan dengan jenis tulisan apa yang ingin anda tekuni.

Misalnya anda ingin menjadi seorang cerpenis remaja. Maka banyaklah membaca cerpen-cerpen remaja di majalah remaja maupun di dalam buku kumpulan cerpen. Perhatikan bagaimana cara penulisannya dari awal hingga akhir dan bagaimana penulisnya mengelola konflik remaja dalam bentuk cerita menarik. Karya orang lain penting untuk dijadikan referensi bagi seorang pemula.

Mulailah Dengan menulis Cerpen Singkat.
Banyak orang yang mengeluh, bahwa ia sudah banyak membaca novel dan cerpen tetapi tidak juga bisa menulis sebuah cerpenpun. Ada juga yang mengatakan apabila ia paling pandai bercerita lisan kepada temannya namun amat sulit menuangkan ke dalam bentuk tulisan.

Mulailah dengan menulis cerpen yang singkat dan semanpu ada menulisnya. Sebaiknya tidak usah dulu mengacu pada standar penulisan cerpen di majalah atau ketentuan dalan lomba. Semakin sering mencoba menulis cerpen, dengan gaya seperti apapun, kita akan semakin terbiasa dan menguasai teknik menulis cerpen. Apalagi diringi dengan membaca dan meminta bimbingan khusus dari seseorang yang sudah mahir menulis.

Latihan dengan metode “plagiat”
Cara ini adalah dengan Menulis Ulang Karya Orang Lain. Ingat, ini hanya untuk latihan sebaiknya tidak dipraktekkan untuk keperluan yang lain.

Pertama-tama kita pilih dulu tulisan orang lain yang kita anggap menarik. Misalnya sebuah cerpen yang berjudul Aku Lemah Karena Cinta. Kemudian kita menulis ulang karya itu dengan ketentuan sebagai berikut: anda bebas mengedit dan ‘memodifikasi’ naskah itu sesuai dengan kehendak anda, silahkan ganti juga nama tokohnya dan ubahlah judulnya, misalnya menjadi Jangan Berikan Aku Cinta. Atau kalau anda bisa, balikkanlah cerita itu sehingga judulnya menjadi Ku Tegar Karena Cinta.
Cerita asli yang seharusnya sedih cobalah diputarbalikkan sehingga menjadi cerita gembira (happy ending). Banyak orang yang latihan dengan cara ini dan lama kelamaan berhasil menulis cerpen secara mandiri.

Metode ini akan membuat kita menguasai anatomi (bagian-bagian) cerita, cara menempatkan penanda, cara memulai, cara menggunakan kalimat sambung, variasi kata dan juga bagaimana sih cara ‘mengganggu’ pembaca dengan kejutan-kejutan. Saya sendiri, pertama kali menulis sebuah artikel di sebuah media massa dengan metode ini. Waktu itu temanya sudah diatur oleh media yang bersangkutan yaitu tentang konsep ideal tentang gerakan mahasiswa. Saya menemukan sebuah artikel bagus dan langsung saya modifikasi. Judul artikel itu saya ubah, kemudian paragrafnya saya ubah dengan bahasa saya sendiri dengan tema yang masih seperti aslinya dan, artikel itu dimuat oleh media massa setelah menyisihkan banyak saingan mahasiswa. Waktu itu saya memang tidak tahu bahwa metode seperti ini tidak bagus untuk praktek langsung untuk di media. Tetapi sebenarnya cara ini boleh saja asalkan hasil ‘modifikasinya’ tidak mirip-mirip banget.

MENULIS CERITA PENDEK

Siapa yang tidak bangga jika cerpennya dimuat di majalah Kawanku, Gadis, Hai, atau mungkin di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Kompas? Kiranya tidak ada yang tidak senang. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh mulai dari diberi ucapan selamat dari teman-temannya, diberi predikat baru sebagai “sastrawan”, mendapat honorarium, dan mungkin guru Bahasa Indonesianya memberikan “bonus” nilai.

Kemampuan menulis karya sastra pada satu sisi diyakini sebagai sebuah bakat yang nota bene dibawa seseorang sejak lahir, namun pada sisi lain diyakini sebagai sebuah hasil belajar. Dari berbagai sharing pengalaman dari orang-orang yang sudah menghasilkan karya sastra, sebagian besar di antaranya mengatakan bahwa kemampuan mereka lebih banyak ditentukan oleh latihan, latihan, dan latihan. Kalau dibuat perbandingan, factor bakat hanya memberikan kontribusi 10-15%, sedangkan selebihnya adalah factor belajar dan latihan. Tuntutan yang diberikan oleh kurikulum untuk siswa SMA sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun, tidak ada salahnya jika kemampuan menulis cerpen yang akan dipelajari ini dapat memberikan bekal hidup di kelak kemudian hari. Artinya, siapa tahu dengan sungguh-sungguh belajar menulis cerpen, ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, para siswi dapat ”nyambi” mencari uang saku melalui cerpen. Di sela-sela kuliah mereka dapat menghasilkan cerpen yang kemudian dikirim ke media massa, dan kalau dimuat akan mendapat uang saku. Dengan demikian, generasi muda ini tidak seratur persen bergantung pada orangtua mereka. Dengan kemandirian finansial seperti itu proses hidup sebagai ”parasit” bagi orang lain dapat sesegera mungkin diakhiri.

BEBERAPA HAL KUNCI DALAM MENULIS CERPEN

Peristiwa, Tokoh, Konflik

Narasi adalah cerita. Cerita didasarkan pada urutan kejadian atau peristiwa. Dalam kejadian-kejadian tersebut terdapat tokoh. Tokoh-tokoh tersebut menghadapi serangkaian konflik atau pertikaian. Tiga hal tersebutlah (urutan peristiwa, tokoh, dan konflik) yang merupakan unsur pokok sebuh narasi.

Kesatuan dari urutan peristiwa, tokoh, dan konflik itulah yang sering disebut alur atau plot. arasi bisa berupa fakta, bisa pula berupa fiksi atau rekaan. Narasi yang berisi fakta antara lain biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri. Narasi yang berisi fiksi atau rekaan antara lain novel, cerita pendek, cerita bersambung, atau cerita bergambar. Plot atau alur dalam sebua narasi dapat berupa alur tunggal, dapat pula terdiri dari alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot.

Latar dan Warna

Alur cerita (kejadian, konflik, dan tokoh) tentu saja tidak terjadi dari kekosongan (vacuum). Pasti peristira tersebut terjadi pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Maka alur terikat pada latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dan latar waktu membutuhkan kekhususan dan ketajaman deskripsi yang menunjukkan pada pembaca bahwa waktu dan tempat kejadian tersebut benar-bena khas sehingga cerita tidak daat dipindahkan secara sembarangan karena kekhasan tersebut memberikan nilai tertentu. Inilah yang disebut sebagai warna lokal dalam cerita. Warna lokal ini diciptakan dengan memberikan deskripsi yang teliti tentang lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat, dialog tokoh-tokohnya yang mengandung dialek-dialek tertentu

Kerangka (Kisi-kisi Alur)


Kerangka atau kisi-kisi alur sangat penting untuk dibuat sebelum kita menulis cerpen. Kisi-kisi alur ini digunakan untk menjaga agar dalam cerita yang akan kita buat tidak terjadi anakronisme, yaitu peristiwa yang salah waktu dan tempatnya. Di samping itu, kisi-kisi ini juga berguna untuk mempertahankan cerita agar dalam pengembangannya cerita tetap terfokus pada konflik yang direncanakan, tidak melantur ke mana-mana. Posisi ”Kita”Dalam sebuah narase tentu saja ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. De fakto yang bercerita adalah penulis cerita itu. Penulis cerita dalam bercerita dapat mengambil posisi sebagai orang di luar cerita yang menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Atau, bisa pula penulis mengambil posisi seolah-olah ia berada di dalam cerita tersebut. Ia ikut menjadi salahsatu tokoh dalam cerita yang dibuatnya itu.Pengambilan posisi diri ini sangat mempengaruhi cerita yang akan dibuatnya. Maka, diperlukan pertimbangan matang untuk memilih gaya pertama, atau gaya kedua sehingga nantinya terdapat konsistensi dalam bercerita.

Percakapan (Dialog)

Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur seberapa besar porsi dialog dalam sebuah cerita. Artinya, boleh saja sebuah cerpen sejak awal sampai akhir isinya dialog antartokoh. Porsi deskripsi latar dan peristiwanya dibuat seminimal mungkin. Namun, boleh juga sebuah cerpen hanya terdiri dari deskripsi semua, tidak ada dialog sama sekali.Hanya, rasa-rasanya akan menjadi cerpen yang tidak enak dibaca ketika tidak terdapat keseimbangan antara dialog dan deskripsi latar.

LATIHAN MENULIS CERPEN

Latihan Menciptakan Tokoh

Saya ingin menciptakan sebuah cerpen yang menggambarkan pertentangan budaya antara budaya Batak, budaya Bali, dan budaya Jawa.

Buatlah nama-nama tokoh (minimal 2 tokoh sentral, ada tokoh andalan, dan ada beberapa tokoh lain) beserta penjelasan mengenai latar belakang kehidupan dan perwatakannya.
Buatlah rencana tempat kejadian dari cerita yang akan Anda buat beserta waktunya!
Buatlah pokok-pokok kejadian yang menggambarkan perkembangan konflik dari cerita yang akan Anda buat!