Your Ad Here

Mari Menulis Sasta!!!

Laman ini dibuat untuk berbagi bersama penikmat sastra. Mari meningkatkan kembali ranah sastra Indonesia yang sudah mulai meredup ini. Bagi Anda yang ingin berpartisipasi, silakan kirim naskah sastra Anda ke; aamovi05@gmail.com dan pastikan tulisan sastra Anda ada di blog ini.
salam sastra Indonesia

Saturday, February 20, 2010

Teori Struktural Sastra

Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Sehingga karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnyaterjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Setiap unsur mempunyai fungsi tertentu berdasarkan aturan dalam struktur itu. Setiap unsur mempunyai fungsi berdasarkan letaknya.
Menurut pikiran strukturalisme, dunia karya sastra merupakan susunan hubungan daripada benda-benda. Sebuah struktur dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling hubungan di antaranya dengan keseluruhannya. Unsur-unsur karya sebagai bagian dari struktur tidak mempunyai makna sendiri. Makna ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dangan keseluruhan (Hawkes, 1978: 17-18).

Analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya bahwa setiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Untuk memahami, karya harus dianalisis (Hill, 1966: 6). Dalam analisis itu, karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami.

T.S. Eliot (via Sansom, 1960: 155) mengemukakan bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya, maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada koherensi atau pertautan erat, unsur-unsur itu tidak otonam, melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya (Culler, 1977:170-1). Jadi, untuk memahami sajak haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.

Teori Sastra Struktural

Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra
itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu

1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.

Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.

PENELITIAN DESKRIPTIF

Berorientasi Pemecahan Masalah

Dalam kaitannya dengan tugas mengajar guru maka jenis penelitian yang dilakukan guru sebaikinya adalah penelitian yang memiliki dampak terhadap pengembangan profesi guru dan peningkatan mutu pembelajaran. Salah satu jenis penelitian ditinjau dari tingkat eksplanasinya adalah penelitian deskriptif (Sugiyono: 2006, 5), jenis penelitian ini dapat dilakukan oleh guru dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelasnya. Walaupun penelitian yang dilakukan oleh guru merupakan penelitian deskriptif, namun tetap harus mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan guru untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran (Suhardjono: 2005).

Upaya tersebut dapat berupa penggunaan metode pembelajaran yang baru, metode penilaian atau upaya lain dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi guru atau dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. Dilihat dari syarat penelitian deskriptif yang sesuai dengan kegiatan pengembangan profesi tersebut(mendeskripsikan upaya yang telah dilakukuan), maka apabila penelitian seperti itu dilakukan secara terencana oleh peneliti maka dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian Pre Experimental Design One Shot Case Study atau One-Group Pretest-Posttest Design (Sugiyono: 2006, 83).

Namun demikian, karena pelaksanaan penelitian dilakukan setelah kejadian berlangsung (ini ciri penelitian deskriptif) maka tetap dikatakan sebagai penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu (1) apabila hanya mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif maka disebut penelitian deskriptif kualitatif; (2) Apabila dilakukan analisis data dengan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka disebut deskriptif asosiatif; dan (3) apabila dalam analisis data dilakukan pembandingan maka disebut deskriptif komparatif. Dan karena untuk penelitian deskriptif yang dilakukan guru harus berorientasi pada pemecahan masalah atau peningkatan mutu pembelajaran maka lebih tepatnya rancangan penelitian seperti itu disebut penelitian deskriptif yang berorientasi pemecahan masalah atau peningkatan mutu,

A. Ilustrasi
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut. Pak Sahid seorang guru Fisika SMP kelas IX. Dia mempunyai masalah di kelas IX-A karena siswanya sering gaduh dan malas dalam mengikuti pelajaran. Berkali-kali pak Sahid sudah memperingatkan siswanya agar mengikuti pelajaran dengan baik, tetapi masih belum berhasil juga. Untuk itu dia berfikir untuk menemukan cara bagaimana menarik perhatian siswa agar mau mengikuti pelajaran dengan baik dan aktif dalam belajar. Untuk itu pak Sahid mencoba menerapkan metoda pembelajaran dengan metode penemuan/inkuiri ditambah penggunaan berbagai media pembelajaran. Mulailah dirancang langkah-langkah pembelajaran tersebut dan dituangkannya dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

Selanjutnya pak Sahid mulai menerapkan metode tersebut yang ternyata mampu menarik siswanya sehingga mau mengikuti pelajaran dengan baik dan lebih aktif dari sebelumnya. Selama pelajaran berlangsung pak Sahid mencatat segala tingkah laku siswa, mana hal-hal yang membuat siswa senang dan termotivasi, dan mana yang kurang menarik siswa. Dia juga merekam nilai yang diperoleh siswa sebelum dan setelah metode tersebut diterapkan.

Pada waktu setelah kejadian berlangsung dan karena melihat keberhasilannya tersebut kemudian pak Sahid ingin mengetahui lebih mendalam tentang sebab-sebab siswa tidak tertarik dan kemudian menjadi tertarik untuk mengikuti pelajaran. Dia mulai menanyai (wawancara) siswanya tentang apa yang membuat menarik dan mana yang tidak menarik, mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak perlu dan sebagainya. Selain itu dia juga membuat angket yang dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam pendapat siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkannya. Dari hasil wawancara, angket maupun hasil penilaian, kemudian dilakukan analisis dan pembahasan tentang penyebab ketidaktertarikan dan penyebab ketertarikan siswa, hal-hal yang membuat siswa bergairah dan sebagainya. Selanjutnya pak Sahid menuliskan segala pengalamannya dalam bentuk laporan penelitian, dituliskannya upaya yang telah dilakukan tersebut secara sistematis mulai dari latar belakang mengapa dia menerapkan metode pembelajaran baru, rumusan masalahnya, landasan teori dan metode penelitian yang digunakan serta teknik analisis/pembahasan dan akhirnya menyusun kesimpulan hasil penelitiannya.

Demikian tadi, pak Sahid sudah melakukan penelitian deskriptif kualitiatif tentang upaya yang telah dilakukan untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran di kelasnya.

B. Persiapan Penelitian
Sebuah penelitian beranjak dari masalah yang ditemukan atau dirasakan. Yang dimaksud masalah adalah setiap hambatan atau kesulitan yang membuat seseorang ingin memecahkannya. Jadi sebuah masalah harus dapat dirasakan sebagai satu hambatan yang harus diatasi apabila kita ingin melakukan sesuatu. Dalam arti lain sebuah masalah terjadi karena adanya kesenjangan (gap) antara kenyataan dengan yang seharusnya. Penelitian diharapkan dapat memecahkan masalah itu, atau dengan kata lain dapat menutup atau setidak-tidaknya memperkecil kesenjangan itu.
Setelah masalah diidentifikasi, dipilih, maka lalu perlu dirumuskan. Perumusan ini penting, karena berdasarkan rumusan tersebut akan ditentukan metode pengumpulan data, pengolahan data maupun analisis dan peyimpulan hasil penelitian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan masalah, yaitu: Sebaiknya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, padat dan jelas, memberi petunjuk tentang memungkinkannya pengumpulan data, dan cara menganalisisnya.

Setelah masalah dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah mencari teori-teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teoritis penelitian yang akan dilakukan itu. Hal lain yang lebih penting makna dari penelaahan kepustakaan adalah untuk memperluas wawasan keilmuan bagi para calon peneliti, karena kita sadari bahwa semua informasi yang berkaitan dengan keilmuan dalam hal ini teori ataupun hasil penelitian para ahli semua sudah tertuang dalam kepustakaan.

Selanjutnya ditentukan metode pengumpulan data, yang diantaranya meliputi metode wawancara, angket, pengamatan dan dokumentasi. Apabila kita katakan bahwa untuk memperoleh data kita gunakan metode wawancara, maka di dalam melaksanakan pekerjaan wawancara ini, pewawancara menggunakan alat bantu. Secara minimal alat bantu tersebut berupa rambu-rambu pertanyaan yang akan ditanyakan dan biasanya disebut pedoman wawancara. Untuk memperoleh jawaban secara tertulis dari responden, digunakan angket atau kuesioner. Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Istilah angket digunakan untuk menyebutkan metode maupun instrumen. Jadi dalam menggunakan metode angket berarti instrumen yang digunakan adalah angket. Selanjutnya data dapat diambil melalui proses pengamatan atau observasi. Pengamatan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan non sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan dan pengamatan sistematis, yang dilakukan oleh pengamatan dengan menggunakan pedoman dalam melakukan pengamatan. Saat melakukan penelitian di mana sumber datanya berupa tulisan atau dokumen, digunakan metode dokumentasi.

C. Pelaksanaan Pengumpulan dan Pengolahan Data
Setelah peneliti melakukan persiapan seperti dijelaskan di atas, maka selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Untuk seorang guru, pengumpulan data dapat dilakukan di kelasnya sendiri. Dalam hal rancangan penelitian deskriptif aplikatif, maka pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan angket (bagi siswa SMP, SMA, SMK) atau wawancara (bagi siswa TK atau SD) dan data yang dikumpulkan misalnya tentang tanggapan siswa atas metode pembelajaran baru yang telah dilakukan guru atau hasil observasi atas sikap siswa pada saat guru menyajikan pembelajaran dengan metode baru. Data lain yang perlu dikumpulkan misalnya adalah nilai hasil belajar siswa, yang diperoleh dari metode dokumentasi, dan keaktifan siswa, yang diperoleh dari hasil pengamatan.

Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, perlu segera dilakukan pengolahan data. Selanjutnya data yang telah diolah tersebut disajikan dalam bentuk tabel, diagram, dan lain-lain agar memudahkan dalam pengolahan serta analisis selanjutnya.

D. Analisis dan Penarikan Kesimpulan

Data hasil olahan tersebut kemudian harus dianalisis, data deskriptif kualitatif sering hanya dianalisis menurut isinya dan karenanya analisis seperti ini juga disebut analisis isi (content analysis). Dalam analisis deskriptif, data disajikan dalam bentuk tabel data yang berisi frekuensi, dan kemudian dihitung mean, median, modus, persentase, standar deviasi atau lainnya. Untuk analisis statistik, model analisis yang digunakan harus sesuai dengan rancangan penelitiannya. Apabila penelitian yang dilakukan guru hanya berhenti pada penjelasan masalah dan upaya pemecahan masalah yang telah dilakukan (untuk meningkatkan mutu pembelajaran), maka setelah disajikan data hasil wawancara, angket, pengamatan atau dokumentasi, maka selanjutnya dianalisis atau dibahas dan diberi makna atas data yang disajikan tersebut. Tetapi apabila penelitian juga dimaksudkan untuk mengetahui tingkat hubungan maka harus dilakukan pengujian hipotesis sebagaimana hipotesis yang telah ditetapkan untuk diuji. Misalnya uji statistik yang dilakukan adalah uji hubungan, maka akan diperoleh hasil uji dalam dua kemungkinan, yaitu hubungan antar variabel-variabel penelitian atau perbedaan antara sampel-sampel yang diteliti, dengan taraf signifikansi tertentu, misalnya 5% atau 10%., atau dapat terjadi hubungan antar variabel penelitian atau perbedaan antara sampel yang diteliti tidak signifikan. Apabila ternyata dari hasil pengujian diketahui bahwa hipotesis alternatif diterima (hipotesis nol ditolak) berarti menyatakan bahwa dugaan tentang adanya saling hubungan atau adanya perbedaan diterima sebagai hal yang benar, karena telah terbukti demikian. Sebaliknya dalam kemungkinan hasil yang kedua dinyatakan hipotesis alternatif tidak terbukti kebenarannya, maka berati hipotesis nol yang diterima. Dengan telah diambilnya hasil pengujian mengenai penerimaan atau penolakan hipotesis maka berati analisis statistik telah selesai, tetapi perlu diingat bahwa pelaksanaan penelitian masih belum selesai, karena hasil keputusan tersebut masih harus diberi interprestasi atau pemaknaan.
Hasil analisis dari pengujian hipotesis dapat dikatakan masih bersifat faktual, untuk itu selanjutnya perlu diberi arti atau makna oleh peneliti. Dalam pemaknaan sering kali hasil pengujian hipotesis penelitian didiskusikan atau dibahas dan kemudian ditarik kesimpulan. Dalam penelitian dipastikan seorang peneliti mengharapkan hipotesis penelitiannya akan terbukti kebenarannya. Jika memang demikian yang terjadi, maka kemungkinan pembahasan menjadi tidak terlalu berperan walaupun tetap harus dijelaskan arti atau maknanya. Tetapi jika hipotesis penelitian itu ternyata tidak tahan uji, yaitu ditolak, maka peranan pembahasan menjadi sangat penting, karena peneliti harus mengekplorasi dan mengidentifikasi sumber masalah yang mungkin menjadi penyebab tidak terbuktinya hipotesis penelitian. Akhirnya dalam kesimpulan harus mencerminkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Jangan sampai antara masalah penelitian, tujuan peneltian, landasan teori, data, analisis data dan kesimpulan tidak ada runtutan yang jelas. Apabila penelitian mengikuti alur atau sistematika berpikir yang runut seperti itu maka penelitian akan dapat dikatakan telah memiliki konsistensi dalam alur penelitiannya.

Thursday, February 18, 2010

Pembaca Sastra di Masa Krisis

Oleh: Bagus Takwin

Beruntunglah pembaca sastra di masa krisis. Keberuntungan itu tentu saja bukan disebabkan oleh materi atau karena pembaca sastra memiliki nilai jual yang tinggi. Juga bukan karena sastra telah memberikan solusi-solusi perbaikan masyarakat yang ampuh. Soalnya bukan politik, bukan ekonomi. Sastra tidak sama dengan para demonstran atau kaum ‘reformis’ atau ‘politikus’ yang punya ‘keampuhan praktis’ mengubah kondisi masyarakat secara langsung dan cepat. Sastra juga tidak seperti ekonomi yang mampu meningkatkan income per capita rakyat Indonesia, atau memperbaiki citra perekonomian Indonesia. Sejarah menunjukkan sastra tidak pernah punya efek seampuh dan secepat politik. Juga tidak seberpengaruh ekonomi dalam mendorong sebuah rezim turun tahta.

Pada masa krisis nasional di Indonesia, masalah yang berkaitan dengan sastra adalah masalah ‘kesejahteraaan psikologis’. Pembaca sastra lebih berpotensi memiliki kesejahteraan psikologis di masa-masa krisis dibanding bukan pembaca sastra. Juga bila dibandingkan peminat ekonomi dan politik (kecuali jika mereka juga senang membaca karya sastra). Apa yang membuatnya begitu?

Sastra memiliki kemampuan untuk memperkuat kondisi psikologis manusia. Pertama, sastra mampu meningkatkan kompleksitas pikiran pembacanya. Kedua, sastra berpotensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir positif pembacanya. Ketiga, Sastra mampu memberi insight (percikan-percikan pemikiran) dan inspirasi kepada pembacanya untuk menemukan penyelesaian masalah, paling tidak tentang bagaimana menghadapi masalah. Keempat, sastra memiliki efek terapeutik bagi pembacanya, menghibur, dan menenangkan pikiran serta perasaan. Kelima, sastra memiliki kemampuan menghidupkan generator rasa ingin tahu pada pembacanya, membangkitkan keinginan untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan, merangsang pikiran dan perasaan untuk aktif (semacam olah raga otak).

***

Kompleksitas pikiran adalah kemampuan untuk melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang dan kemampuan untuk menerima serta menggabungkan berbagai sudut pandang itu untuk menyelesaikan masalah. Membaca karya sastra yang beragam akan meningkatkan kompleksitas pikiran karena si pembaca akan berhadapan dengan berbagai kejadian yang digambarkan dalam karya-karya itu. Meskipun hanya sebatas kognisi dan afeksi, pembaca karya sastra mendapat pengalaman menyelami seluk beluk tokoh dan peristiwa dalam karya sastra yang dibacanya. Pembaca juga dimungkinkan berempati, bahkan bersimpati pada tokoh cerita. Di sini pembaca sangat dimungkinkan untuk mengambil peran tokoh cerita. Ia memiliki kesempatan untuk berpikir, merasa, dan menghayati dunia dengan menggunakan sudut pandang tokoh. Pengalaman yang memberi kesempatan pada seseorang untuk bertukar peran atau role-taking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang (Kohlberg, 1984). Dengan kemampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, ia dapat melihat berbagai alternatif pemecahan masalah yang dengan sendirinya meningkatkan kemampuannya memecahkan persoalan.

Berdasarkan caranya memandang dunia, kemampuan berpikir manusia dapat digolongkan menjadi dua: kemampuan berpikir negatif dan berpikir positif. Berpikir negatif adalah cara mengolah informasi dari lingkungan dengan sudut pandang negatif. Sedangkan berpikir positif menggunakan cara pandang yang positif. Orang yang berpikir negatif cenderung memandang dunia sebagai hal yang jelek, salah, tak dapat dipercaya, dan merugikan. Sedang orang yang berpikir positif cenderung memandang dunia sebagai hal baik, dapat dipercaya, menjanjikan keberhasilan, menyenangkan, dan bersahabat.

Sejak kecil, kemampuan berpikir negatif sudah berkembang sebagai akibat dari perasaan takut dan tak berdaya sebagai anak kecil. Semakin dewasa seseorang, semakin tinggi kemampuannya berpikir positif. Selain itu, ia makin mampu menentukan apa saja yang sebaiknya ditanggapi secara positif dan apa saja yang harus ditanggapi secara negarif. Tetapi perkembangan kemampuan berpikir positif ini sering terhambat oleh pengalaman-pengalaman negatif individu. Pengalaman negatif cenderung meninggalkan bekas yang lebih dalam daripada pengalaman positif. Bekas yang lebih dalam ini dapat menutup hal-hal positif yang pernah dialaminya.

Sastra memberikan berbagai gambaran peristiwa dan kondisi psikologis tokoh-tokohnya. Gambaran-gambaran ini akan membuka pikiran pembaca terhadap hal-hal yang positif. Pembaca dapat menyelami liku-liku kejadian, seluk-beluk peristiwa dan jiwa manusia. Berbagai pengalaman psikologis yang mencakup kognisi dan afeksi ini akan membantu pembaca karya sastra untuk melihat bahwa dunia ini tidak melulu terdiri dari hal-hal negatif. Peran sastra adalah menghindarkan pembacanya dari hendaya yang ada dalam mengembangkan kemampuan berpikir positif. Sastra membantu pembacanya mencapai keseimbangan dalam penggunaan kemampuan berpikir positif dan negatif.

Salah satu fungsi sastra adalah untuk mengkomunikasikan ide dan menyalurkan pikiran serta perasaan estetis manusia pembuatnya. Ide itu disampaikan lewat amanat yang pada umumnya ada dalam sastra (Sapardi Djoko Damono, 1996). Selain ide, dalam sastra terdapat juga deskripsi berbagai peristiwa, gambaran psikologis, dan berbagai dinamika penyelesaian masalah. Hal ini dapat menjadi sumber insight (percikan-percikan pemikiran) dan inspirasi bagi pembacanya. Dalam hal kesiapan menghadapi krisis, sastra memiliki peranan untuk menumbuhkan semacam kepekaan terhadap krisis (sense of crisis) pada pembacanya. Konflik-konflik dan tragedi yang digambarkan dalam karya sastra memberikan kesadaran pada pembaca bahwa hal itu dapat terjadi dalam kehidupan nyata dan dialami langsung oleh pembaca. Kesadarannya itu membentuk semacam kesiapan dalam diri untuk menghadapi krisis. Kesiapan menghadapi krisis mengarahkan manusia untuk mengatisipasi datangnya krisis dan mempersiapkan berbagai hal yang dapat mencegah atau menghentikan krisis. Lewat bacaan sastra itu pula pembaca mendapat insight untuk menyelesaikan masalah. Sastra juga dapat dijadikan sumber inspirasi tentang cara-cara meminimalkan akibat-akibat krisis.
Sastra juga berguna bagi para pembacanya sebagai media hiburan. Penggunaan sastra dalam terapi seni (art therapy) juga dapat dilakukan. Dengan membaca karya sastra, seseorang mendapatkan suatu kesenangan dari alur cerita, permainan bunyi, juga dari permainan makna. Pembaca dapat melepaskan ketegangan setelah membaca karya sastra. Efek hiburan dan terapeutis positif dari karya sastra dapat diperoleh lewat proses membaca yang intens dan melibatkan keseluruhan diri pembaca. Seperti berolahraga atau mendengarkan nyanyian, penghayatan terhadap karya sastra akan menimbulkan perasaan senang, tenang, dan melegakan. Karya sastra dapat memberikan efek rekreasi dan relaksasi pada pembacanya. Efek rekreasi dan relaksasi ini dapat membantu manusia untuk menjernihkan pikiran sehingga lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah dengan lebih tenang dan teliti.

***

Di saat-saat krisis, kualitas-kualitas psikologis seperti kompleksitas pikiran, kemampuan mengontrol persepsi, kemampuan mengolah informasi secara kritis, dan kreativitas dalam memecahkan masalah sangat dibutuhkan. Saat ini, begitu semerawut-nya situasi Indonesia dalam berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Ke-semerawutan ini belum juga menampakkan titik terang sehingga menuntut manusia memiliki kualitas psikologis yang dapat membantunya bertahan menghadapi berbagai krisis. Seperti sekelompok orang di tengah bencana alam, menunggu bencana reda sembari mencoba bertahan dengan segala kemampuan, berupaya mengurangi efek bencana dengan ‘bekal’ yang dimilikinya. ‘Bekal’ itu sedikit banyak dapat diperoleh dari pengalaman membaca sastra. Di sinilah letak keberuntungan pembaca sastra. Pada masa yang sangat sulit sekalipun, ‘kesejahteraan psikologis’-nya tetap terjaga.

Tentu saja sastra tidak dapat berperan sendiri dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis seseorang. Berbagai faktor lain harus juga dilibatkan. Sastra hanya salah satu hal positif di antara begitu banyaknya hal positif yang ada di dunia. Kemujaraban perannya adalah hasil sinergi dengan berbagai hal positif lainnya.

Sastra seperti guru, kemujaraban perannya tidak langsung terlihat dan tidak berdiri sendiri. Keduanya punya peran mendidik. Guru yang baik, kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya (9 Mei 1987), adalah guru yang punya jejak panjang dalam diri anak didiknya. Guru yang mampu menghidupkan generator keingintahuan murid-muridnya, menghidupkan keinginan untuk menjelajahi cakrawala pegetahuan. Seperti guru, sastra yang baik adalah sastra yang mampu menggugah rasa ingin tahu pembacanya, mampu menghidupkan generator keinginan menjelajahi pengetahuan dalam benak pembaca. Sastra yang punya jejak panjang, bergaung melewati berbagai zaman.***
Depok, 13 Juli 1998

CERITA-CERITA DI CANDI SUKUH DAN KORELASINYA BAGI PEMBELAJARAN SASTRA TRADISIONIL

Oleh Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum


1. Pengantar

Sastra tradisionil merupakan suatu jenis sastra yang khas. Jenis sastra ini biasanya diikuti oleh nuansa fungsi yang kental sehingga fungsinya sering tidak sekedar bacaan, melainkan jugamerupakan suatu bacaan sakral yang memiliki kaitan dengan kepercayaan masyarakat pemilkinya. Sastra tradisionil juga seringkali kental dengan nuansa pendidikan dan penanaman tradisi.

Karena itu, salah satu topik pembahasan adalah mengenai fungsi sastra tradisionil tersebut di masyarakat. Namun, penelitian tentang fungsi tersebut mengalami kendala. masyarakat pemilik sastra tradisionil tersebut dewasa ini sudah tidak ada dan yang ada hanyalah artefak sisa-sia kegiatan mereka. Artefak-artefak tersebut yang kemudian kita tafsirkan dan mencoba mendapatkan pemahaman.

Tulisan ini berusaha memahami sastra tradisionil dalam korelasinya dengan artefak-artefak di Candi Sukuh yang di dalamnya tersimpan teks-teks sastra tradisionil dalam bentuk yang lain, yakni divisualisasi dalam relief-relief dan arca-arca.

2. Beberapa hal tentang Candi Sukuh

Candi Sukuh merupakan sebuah candi yang terletak di lereng Gunung Lawu. Candi ini konon didirikan pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Yang memanrik bahwa candi tersebut dibangun jauh dari pusat kerajaan di Majapahit yang berada di Jawa Timur. Candi Sukuh konon dibangun pada antara tahun 1416 dan 1459. Candi Sukuh ini di antaranya juga menampilkan Bima sebagai tokoh dari Mahabharata yang ditampilkan sebagai simbol potensi dan penyalur kekuatan abadi. Di dalam Candi Sukuh juga ditemukan simbol kesuburan dengan digambarkan secara realis alat kelamin pria dan wanita di pintu gerbangnya. Candi Sukuh dalam hal gaya berhubungan dengan gaya prasejarah Indonesia yang sudah terpendam selama 1500 tahun (Holt, 1967:33).

Yang menarik bahwa di dalam candi ini dilukiskan cerita-cerita pelepasan dan cerita-cerita ruwat. Setidaknya ada dua cerita dari khasanah sastra tradisionil yang menjiwai candi ini. Cerita tersebut adalah cerita dari Adiparwa dan cerita dari Kidung Sudamala. Cerita kedua hasil sastra tradisionil tersebut pada pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.

2.1. Kidung Sudamala

Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang wisesa melaporkan kepada Batar Guru bahwa Dewi Uma telah berbuat serong. Laporan itu menjadikan Batara Guru marah dan mengutuk Dewi Uma menjadi raksasa wanita yang mengerikan. Batara Guru mengatakan nanti akhirnya yang dapat melepaskan kutuk itu adalah Sadewa, anak Kunti. Batari Uma lalu tinggal di hutan Setra Gandamayu sebagai ratu lelembut (makhluk halus).

Dua orang gandarwa juga dikutuk Batara Guru lalumenjadi raksasa bernama Kalanjaya dan Kalantaka lalu mengabdi ke Hastina. Hal itu menjadikan Pandawa sedih. Dewi Kunti lalu bertapa di Setragandamayu untuk mendapatkan bantuan. Dewi Kunti lalu ditemui Batari Durga yang bersedia membantu menyingkirkan Kalanjana dan Kalantaka asalkan Dewi Kunti bersedia menyerahkan Sadewa. Kunti pada mulanya tidak mau menyerahkan Sadewa, namun ketika roh seorang makhluk halus memasuki badan Dewi Kunti, maka Kunti lalu menyerahkan Sadewa ke hadapan Batari Durga.

Di hadapan Batarai Durga Sadewa diminta meruwatnya, namun Sadewa tetap tidak mau karena tidak bisa. Hal itu menimbulkan amarah Batari Durga, tetapi sadewa tetap diam saja. Peristiwa itu dilihat oleh Batara Narada yang segera melaporkan kepada Batara Guru. Mengetahui hal itu, Batara Guru lalu memasuki tubuh Sadewa lalu Batari Durga diruwat sehingga menjadi batari yang cantik kembali. Hutan Setragandamayu lalu menjadi tempatyang indah. Setan dan lelembut lalu menjadi dewa. Sadewa kemudian diberi nama baru oleh Batara Durga dengan nama Sudamala yang artinya membersihkan kotoran. Batari durga yang sudah menjadi Dewi Uma kembali lalu menasihati sadewa untuk pergi ke Patapan Prangalas untuk mengawini Dewi Padapa, anak Bagawan Tambrapetra. Kakak Sadewa bernama Nakula lalu juga menyusul ke pertapan tersebut. Kedua satria itu lalu dikawinkan dengan anak-anak Bagawan Tambrapetra. Sadewa dan Nakula lalu berhasil mengalahkanKalanjana dan Kalantaka yang keduanya lalu berubah ke wujud asli sebagai dua orang widadara (Poerbatjaraka:1954:78). Demikianlah cerita ringkas Kidung Sudamala yang ceritanya juga dipahatkan pada relief Candi Sukuh tersebut.

2.2. Cerita Garuda

Cerita tentang garuda atau lebih dikenal sebagai cerita Garudeya merupakan bagian dari cerita Adiparwa dari Mahabharata. Diceritakan bahwa Kasyapa memiliki istri 29 orang. Dua di antara istri-istrinya itu bernama Kadru dan Winata. Kadru memiliki anak berupa ular sedang Winata memiliki anak berupa garuda. Suatu hari Kadru dan Winata bertaruh mengenai warna kuda yang akan muncul bersama air amrta. Keduanya bertaruh bahwa yang salah akan menjadi hambanya. Kadru mengatakan bahwa kuda akan berwarna biru sedang Winata mengatakan bahwa kuda akan berwarna putih. Ternyata kuda yang muncul berwarna putih. Karena tidak mau kalah, Kadru lalu menyruh anak-anaknya yang berupa ular untuk menggigit kuda tersebut dengan bisanya sehingga berwarna biru. Akhirnya, Winata kemudianm enjadi hamba Kadru karena kelicikan Kadru.

Garuda di Candi Sukuh Anak Winata yang berwujud garuda lalu berusaha menolong ibunya. Para naga bersedia membebaskan Winta kalau garuda dapat menyerahkan kepada mereka air amrta. Dengan susah payah Garuda berhasil mendapatkan amrta dan membebaskan ibunya. Para dewa lalu juga berhasil merebut air tersebut dari para ular naga.Batara Wisnu dengan kecerdikannya berhasil mengalahkan garuda sehingga menjadi kendaraannya (Zoetmulder, 1985:81)..

3. Korelasi Candi Sukuh Bagi Pembelajaran sastra Tradisionil

Setelah memperhatikan uraian-uraian di atas, maka tampaklah bahwa bagi pembelajaran sastra tradisionil, Candi Sukuh memiliki korelasi untuk pengembangan wawasan mahasiswa. Korelasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

3.1. Bukti Eksistensi Cerita dalam Teks

Dengan memperhatikan Candi Sukuh, maka tampaklah secara riil bahwa teks-teks Jawa Kuna yang ditemukan dan dibahas pengkajiannya merupakan teks-teks yang pada masa lalu betul-betul memiliki eksistensi. Eksistenti tersebut tampak dalam Candi Sukuh dengan gambaran relief yang diambil dari teks klasik, khususnya Adiparwa, bagian awal atau yang sering dikenal dengan judul cerita Garudeya atau Samodramantana dan Sudamala.

Di dalam arca-arca di Candi Sukuh digambarkan tentang kedua cerita tersebut seperti tampak gambar-gambar adegan dalam Sudamala yang melibatkan Sadewa, Durga, Kalanjana, dan sebagainya. Sementara dari cerita Adiparwa digambarkan kura-kura jelmaan Wisnu, gambar garuda, dan sebagainya. Dengan melihat eksistensi cerita dari candi yang dibuat pada abad ke-15 itu, maka mahasiswa menjadi semakin sadar bahwa cerita tersebut di zamannya merupakan cerita yang sangatbermakna, setidaknya menjadi salah satu kepercayaan ritual penguasa hingga dibuatkan sebuah candi. Kehadiran teks-teks tersebut juga merupakan teks sakral karena candi perupakan tempat persembahyangan.

Bukti-bukti tersebut menunjukkan besarnya pengaruh suatu teks di dalam suatum asyarakat. Setidaknya masyarakat pada waktu itu sangat mengenal teks tersebut dan teks tersebut secara luas menjadi pengetahuan umum. Sampai dewasa ini teks tersebut masih terasa jejak-jejaknya di Banyuwangi dengan adanya cerita tentang asal-usuk kota Banyuwangi yang diceritakan sebagai keturunan Sadewa yang cerita tersebut sebenarnya merupakan awal dari cerita Sudamala. Cerita tentang asal-usul Banyuwangi tersebut terdapat dalam cerita Sri Tanjung. Karena itu, teks Sudamala pada waktu dulu tentunya merupakan suatu teks yang tersebar luas di Jawa.

3.2. Bukti Transformasi Teks ke Dalam Relief

Di dalam ilmu sastra dikenal adanya teori resepsi yang membicarakan tentang aspek pembaca. Teori ini menekankan kajiannya pada unsur pembaca dan proses pembacaan karya sastra sehingga teori ini dapat dikategorikan sebagai pendekatan pragmatik terhadap karya sastra (Abrams, 1981:6). Pendekatan karya sastra yang menekankan pada unsur pembaca sebenarnya bukan hal baru. Melalui karyanya berjudul Poetics, filsuf Yunani Kuna, Aristoteles mengemukan konsep katarsis sebagai kategori suatu utama pengalaman estetik (Holub, 1984:13).

Candi Sukuh merupakan wujud nyata adanya resepsi terhadap teks Adiparwa dan Sudamala sehingga teks tersebut dikonkretkan dalam bentuk relief-relief dan arca-arca. Hal itu terjadi karena masyarakat menanggapi teks tersebut lalu ingin mengekspresikan kembali dalam bentuk tanggapan yangberupa reproduski kreatif di candi tersebut. Untuk pembelajaran, maka mahasiswa perlu diajak mengapresiasi dan mengintrepretasi peristiwa tersebut dengan cara mengunjungi dan diberi penjelasan seperlunya.

3.3. Visualisasi Teks

Dengan adanya teks dan adanya relief, maka akan tampak bagaimanamenurut konsepsi orang Jawa pada pada ke-15 mengenai gambaran teks tersebut secara viasul. di dalam teks tersebut dikenal tokoh-tokoh wayang, maka visual tokoh wayang tersebut tergambar dalam relief-relief tersebut. Relief-relief tersebut sangat bermakna bagi sejarah perkembangan kebudayaan, khususnya bidang seni rupa. Bila dibandingkan dengan bentuk wayang dewasa ini, maka akan tampak beberapa persamaan, namun ditemukan pula perbedaan. Yang jelas wayang dewasa ini sudah kental dengan nuansa stylir sementara gambar pada candi-candi memiliki nuansa realis yang lebih nyata.

4. Penutup

Pada penutup ini penulis perlu menegaskan bahwa suatu candi seperti Candi Sukuh dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran sastra tradisionil, yaitu dalam korelasi menemukan hubungan antara teks-teks klasik dengan relef-relief dan arca-arca yang ada di suatu candi.

Metode pembelajaran ini dapat diperluas pada candi-candi dan peninggalan lainnya yang relevan seperti pemanfaatan Candi Prambanan dan Panataran untuk teks Ramayana, Candi Cetha untuk teks Bima Ruci, candi Borobudur dan Mendut untuk teks-teks Budha dan sebagainya. Relevansi tentu saja disesuaikan dengan pokok bahasan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H., 1991. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press
Holub,Robert C. 1984. Reception Theory : A Critical Introduction. London dan New York: Methuen.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.

Teks Sastra Dalam Empat Pengkajian

Oleh Edi Miswar Mustafa

Mahasiswa Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Alumnus Sekolah Menulis Dokarim.

Istilah analisis cenderung dianggap negatif dalam perfiksian. Kesan yang timbul ialah proses potong-memotong, mengiris-iris satu karya sehingga menjadi irisan yang tak sedap lagi dinikmati oleh khalayak pembaca. Namun, prasangka tersebut menjadi tak banyak benarnya ketika dipertautkan dengan teks-teks sastra yang sekiranya perlu dipahami dengan baik. Di mana untuk memahami satu karya kita dibebani oleh kompleksitas unsur-unsurnya. Persoalan kemudian yang timbul meruyaknya perbedaan pendapat dan penafsiran tentunya sama sekali bukan terpenting apabila pada tiap kajian memiliki argumen yang dapat dimaklumi.

Ada empat kajian perfiksian yang dirumuskan Burhan Nurgiantoro dalam bukunya, Pengkajian Fiksi. Pertama, kajian struktural yang berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto, 1986: 136). Maksudnya adalah analisis kata-kata dalam kalimat, kalimat-kalimat dalam alinea dan konteks wacana yang lebih besar. Juga analisis fungsi dan hubungan antara unsur latar waktu, tempat, dan sosial budaya dalam analisis latar. Kedua, analisis relasi intertekstual, ialah kajian hubungan antarteks dalam satu periode (karya-karya angkatan 2000-an) maupun dalam periode yang berbeda (misalnya karya angkatan 70-an dengan angkatan 2000-an).
Kenyataannya, dewasa ini banyak kalangan yang mulai pesimis dengan kajian struktural. Konsep otonom dalam karya sastra dianggap lemah karena sesungguhnya ada lelatu lain dalam suatu pelahiran teks. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial-budaya dan atau latar belakang kesejarahannya akan menyebabkan karya itu kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan maknanya akan sulit ditafsirkan. Umpamanya dalam ”Bingung”, cerpen almarhum Hasyim KS yang menceritakan malaikat-malaikat bingung karena banyak manusia meninggal dengan nomor urut meninggal di luar ketentuan yang telah ditentukan oleh Yang Maha Perkasa. Dalam kaitannya dengan realitas ke-Aceh-an, cerpen ini semacam hiperbola, melebih-lebihkan kondisi ranah ini yang dijadikan taman berperang yang tak kunjung henti.

Kajian intertekstual berpunca dari alasan bahwa suatu karya ditulis tidak mungkin (dihamilkan kemudian dilahirkan) tanpa berpijak dari pijaran budaya-budaya yang telah ada sebelumnya. Termasuk konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Contohnya, sebelum Hamzah Fansury menulis seperti Hikayat Nun Farisi, Hikayat Burung Pinggai, ia tentu saja telah berkenalaan dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya, kemudian sebelum Azhari dan sastrawan-sastrawan Aceh lainnya; apakah mereka akan menciptakan karya-karyanya tanpa lebih dulu berkenalan dengan karya lain dalam khazanah sastra dunia.

Dalam kajian yang lain dikenal dengan nama kajian semiotik. Namun, perlu diterangkan di sini bahwa semiotik ialah ilmu untuk mengkaji tanda; sesuatu yang mewakili gagasan yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Pelahiran tanda dalam semiotik komunikasi, menurut Umberto Eco (penulis novel The Name of The Rose), adanya pengirim informasi, penerima informasi, sumber, dan tanda-tanda, saluran, proses pembacaan, serta kode. Misalkan dalam lirik puisi Chairil Anwar yang berjudul ’Penerimaan’; Kalau kau mau kuterima kau kembali/ bak kembang sari sudah terbagi/ jangan tunduk / tentang aku dengan berani. Pada penghabisan puisi ini; sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Bukankah kita menjadi ragu untuk yakin bahwa sebenarnya kembang sari sudah terbagi menandakan perempuan sudah dinikahi oleh orang lain selain si narator dalam puisi tersebut?

Ada satu kajian sastra yang dianggap pembalikan dari kajian-kajian sebelumnya, terutama sekali kajian struktural, yaitu dekonstruksi. Kajian ini meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam suatu teks yang memproduksi dasar argumen yang merupakan konsep utama. Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah karya.

Contoh asumsi ini pada novel Siti Nurbaya. Sudah menjadi rahasia umum pada sebagai apresian novel tersebut bahwa Samsul Bahri dianggap sebagai tokoh yang disayang dan dikasihani karena kehidupannya yang tak dapat meraih hidup yang rekah dengan Siti Nurbaya, gadis idamannya. Sementara itu, Datuk Maringgih, si tua bangka, adalah tokoh yang tidak dikasihani dan disayang pembaca karena sosok ini dengan muslihat liciknya dalam novel tersebut berhasil memperistri Siti Nurbaya.

Akan tetapi, kajian dekonstruksi melihat dengan kacamata lain. Samsul Bahri tidak layak mendapat asumsi umum, yakni disayang atau dikasihani oleh pembaca, karena sebagai anak dari bangsa yang terjajah, ia bukan melawan kekuasaan pemerintah kolonial, melainkan justru bergabung dengan pihak penjajah menumpas api pemborantakkan bangsanya. Hanya karena kegagalan cinta terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan bangsa yang sedang terpijak di mana-mana. Hal itu menunjukkan bahwa ia punya mental anak mami, mental yang lemah, bukan seorang laki-laki yang kuat. Setelah usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu kompeni. Kemudian, ketika berada di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Apapun alasannya, ihwal tersebut sama saja dengan memerangi saudara-saudaranya sendiri. Ia adalah pengkhianat bangsa. Dia sama sekali tidak patut disayangi oleh pembaca, bahkan untuk seorang kekasih yang ideal sekalipun di zaman modern ini.

Nah, begitulah empat kajian tersebut saling bertarung memperebutkan pembenaran dalam karya sastra. Jika ditelisik lebih, simak bagaimana kajian perfiksian coba dipermak kesemuanya melarung pada satu jawaban; bahwa tujuan dasar kerja analisis kesastraan, baik fiksi, puisi, drama, film, untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskan pada pembaca yang kurang memahfumi suatu karya. Kerja analisis hanya sekedar sarana untuk memaknakan karya-karya kesastraan itu sebagai satu kesatuan yang padu-dan-bermakna, bukan sekedar bagian per bagian yang terkesan sebagai suatu iris-mengiris dan potong-memotong seperti yang telah saya katakan di pembuka tulisan ini.

Kanon Sastra: Siapa Takut?

Ayu Utami

Mengapa takut, wahai, pada kanon sastra? Toh kita belum pernah punya. Dan sesungguhnya kita perlu punya, ya, sebuah kanon yang cocok untuk kepentingan kita. Dan kepentingan itu adalah proyek kebangsaan Indonesia, yang belakangan ini terbengkalai. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak awal kebangsaan kita. Sayangnya, pemerintahan Soeharto menjalankan proyek ini dengan cara yang menghilangkan keharuannya. Reformasi 1998, yang mewarisi kegusaran pada slogan Orde Baru, menyingkirkan butir-butir sumpah itu bersama sampah lain ke sudut berdebu. Pelbagai riset menunjukkan, sepuluh tahun ini orang memilih ikatan-ikatan lain, semisal kesukuan, kedaerahan, dan agama, di atas satu bangsa satu tanah air.

Dari tiga untai Sumpah Pemuda, hanya yang terakhir yang masih lumayan mengilap, berkat para peminat bahasa Indonesia yang masih setia mengelap-ngelap butir ketiga itu tiap tahun. Sebagian di antaranya sastrawan—mereka suka menyelenggarakan seminar di sekitar tanggal ini; misalnya Kongres Cerpen, yang 25 sampai dengan 28 Oktober ini diadakan di Banjarmasin. Sebagian lebih besar adalah para linguis dan birokrat bahasa. Mereka bekerja di Pusat Bahasa, balai bahasa tingkat daerah, yang tanpa bosan mengadakan hajatan di bulan bahasa saban tahun. Tema yang diangkat kerap sloganistis—"dengan sastra kita tingkatkan minat baca insan Indonesia". Apa pun, gosokan merekalah yang membuat sumpah nomor tiga masih tersemir.

Sumpah ketiga itu istimewa adanya. Sumpah yang pertama dan kedua lebih mengenai ikatan darah dan tanah. Sumpah nomor tiga perihal ikatan bahasa, unsur yang lekat pada makhluk berbudaya. Rumusannya pun tersendiri. Para pemuda bukan mengaku berbahasa satu, melainkan menjunjung bahasa persatuan. Kata itu "menjunjung", bukan "mengaku". Lagi pula "bahasa persatuan", bukan "bahasa yang satu".
Ini adalah pengakuan matang atas persatuan dalam perbedaan. Bahasa Indonesia dijunjung, sementara bahasa-bahasa nusantara didukung. Tentu saja dalam praktik ada persoalan kesetaraan pengembangan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah. Akan tetapi, rumusan ideal ini tetaplah bentuk lain pernyataan Bhineka Tunggal Ika, yakni falsafah kebangsaan kita. Tidakkah menakjubkan, kita bisa bersandar kepada kebahasaan kita untuk merumuskan kembali kebangsaan Indonesia yang kini agak terlupakan. Bahasa merupakan epitom kebangsaan kita. Dengan caranya, para birokrat bahasa, linguis, maupun sastrawan telah berjasa memelihara ide kebangsaan ketika orang banyak alpa.

"Kanon sastra"

Apa hubungannya dengan "kanon sastra"? Kanon bisa bermakna kitab hukum. Kanon sastra kerap berarti kitab hukum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Kanon sastra ini tentu bukan kitab hukum positif seperti KUHP, melainkan lebih berdasarkan kesepakatan. Marilah di sini kita sepakati arti kanon sastra sebagai daftar bacaan standar wajib bagi orang terpelajar.

Pegangan demikian diperlukan dalam proses belajar-mengajar sastra. Namun, berkat kritik postmodernisme, para peminat sastra kerap memandang sinis pada daftar bacaan wajib ini karena penyusunannya tidak bebas politik kepentingan. Contoh paling kasar, di masa Orba karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak boleh masuk dalam daftar bacaan. Sejalan dengan reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Usaha untuk menemukan standar sastra dicurigai motif dan kepentingannya. Kanonisasi sastra, jika pun ada, dianggap sebuah proyek yang semata-mata bernafsu kekuasaan. Contoh prasangka buruk ini adalah ajuan di dalam Kongres

Cerpen lalu.

Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia di masa lalu memang sangat ditentukan oleh, bukan cuma politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tak bisa diajarkan di sekolah.

Setelah angkatan 45, sastra Indonesia dihadirkan tak berpeta. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagian guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Ketika kritik postmodernis menghancurkan batas antara sastra tinggi dan sastra ngepop, media massa membangun tolok ukur baru yang lebih encer—berdasarkan segala kriteria, termasuk sensasionalitas. Inilah keadaan tak berpeta itu. Harap dicatat. Kenyataan sastra memang tak membutuhkan peta, seperti segala kenyataan yang lain. Namun, pedagogi membutuhkan peta untuk kerangka acuan melihat kenyataan yang niscaya sengkarut. Semata demi membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapapun tak bisa lepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar sastra—baik dalam kelas formal maupun tidak. Kita membutuhkan bacaan wajib sastra yang disusun berdasarkan sebuah kepentingan yang jujur yang bisa direvisi dari waktu ke waktu berdasarkan tantangan zaman. Dan, kepentingan yang mendesak sekarang ini adalah proyek kebangsaan Indonesia.

Gali Pramoedya

Kenapa takut mengemban misi proyek kebangsaan dalam penyusunan kanon sastra? Bukankah Sumpah Pemuda mengamanatkannya dahulu dan masalah ini mendesak sekarang?

Tentu proyek kebangsaan yang baru ini tak boleh mengulangi kesalahan Orba. Kanon ini mesti afirmatif, bukan negatif. Ia harus memberi kerangka, ia menganjurkan karya-karya yang bisa dibaca dalam wawasan kebangsaan, bukan melarang. Ia memberi arah, bukan pagar. Dengan kurasi begini, tak bisa tidak, tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya harus diangkat kepada lampu baca. Larangan atas karya-karyanya tak hanya harus diabaikan, tetapi mesti resmi dicabut. Lepas dari mutu kesusastraannya, serial ini adalah kuartet yang dengan sadar membawa proyek kebangsaan.

Proyek kanon sastra kebangsaan ini juga tak boleh naif. Ia harus memperkenalkan karya sastra bersama konteks dan kritiknya. Maka, polemik kebudayaan serta pembuangan Pramoedya ke pulau Buru menjadi ilustrasi sampingan yang menunjukkan betapa sastra berkelindan dengan problem nasion yang tak sederhana. Obituari pendek Achdiat Karta Mihardja mengenai Amir Hamzah bisa disertakan untuk sebuah cerita tentang pemuda Sumatera yang menjadi Indonesia dan tak ragu mengolah unsur Jawa. Sari-sari "Sastra dan Religiositas" dari Romo Mangun bisa dijadikan bahasan. Demikian, hal-hal yang disampaikan di kelas hanyalah tonggak-tonggak yang berguna untuk membaca peta. Sebab, si manusia kelak menentukan jalannya sendiri.

Kanon sastra yang tidak naif adalah yang melayani keperluan spesifik belajar-mengajar, serta yang jujur mengenai motif dan kepentingannya. Dan, jika kepentingan kita adalah arah kebangsaan, sahutlah, kenapa harus takut?

Ayu Utami Novelis

Wednesday, February 17, 2010

PANDUAN ALTERNATIF UNTUK PENULIS PEMULA

Oleh Mukhlis A. Hamid, M.S


PENGANTAR

Sudah dua puluh tahun yang lalu Arswendo Atmowiloto bilang “Mengarang itu gampang”. Tak Percaya, baca saja bukunya yang berjudul Mengarang Itu Gampang. Dalam buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta, 1984, itu Arswendo mencoba meyakinkan para pembaca bahwa sebenarnya kegiatan menulis atau mengarang itu tidak sesukar yang dibayangkan orang. Asalkan: orang yang mau menulis atau mengarang tersebut benar-benar punya kemauan dan memaksa diri sendiri untuk menulis, menulis, dan terus menulis! Sebaliknya, kalau keinginan untuk menulis atau mengarang itu hanya ada dalam cita-cita, keinginan, dan tak pernah dilaksanakan, kegiatan menulis atau mengarang itu menjadi sukar dan tak pernah berwujud. Karenanya, kalau ada keinginan untuk menulis dan menjadi seorang penulis, usahakan untuk mewujudkan keinginan tersebut saat itu juga, jangan ditunda-tunda. Ide dan atau mood itu sering sekali datangnya tiba-tiba dan jarang betul berkali-kali. Ia hanya datang sekali. Kalau tak ditangkap, tak dimanfaatkan, tak diwujudkan, ide atau mood menulis itu akan hilang percuma. Sayang bukan?

Tujuan dan Ragam Tulisan

Seseorang yang menulis tentu punya tujuan atau harapan. Ia mungkin ingin mengungkapkan hasil pengamatan, hasil percobaan, hasil penelaahan, hasil wawancara, gagasan personal, dan sebagainya dengan dukungan data atau fakta yang dapat diuji kebenarannya. Sebaliknya, ada juga orang yang menulis sesuatu yang dirasa secara personal atau kelompok, dibayangkan akan terjadi di suatu tempat pada suatu masa, diimajinasikan/dikhayalkan, ataupun sesuatu yang pernah terjadi secara faktual tetapi sudah ditambah-tambah, dikurangi, diganti, difiktifkan sehingga tak dapat lagi dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya lazimnya disebut tulisan atau karangan ilmiah atau karangan faktual, karangan nonfiksional. Sebaliknya, tulisan yang tak dapat dibuktikan kebenarannya disebut tulisan atau karangan fiksional. Kali ini, sesuai dengan pesan sponsor, kita hanya akan membahas ragam tulisan yang kedua, tulisan atau karangan fiksional. Ragam tulisan ilmiah akan kita bahas pada kesempatan lain. Oke?

Tulisan atau Karangan Fiksional

Sebagaimana telah diuraikan di atas, tulisan atau karangan fiksional itu merupakan tulisan yang mengungkapkan, merekam sesuatu yang dirasa secara personal atau kelompok, dibayangkan akan terjadi di suatu tempat pada suatu masa, diimajinasikan/dikhayalkan, ataupun sesuatu yang pernah terjadi secara faktual tetapi sudah ditambah-tambah, dikurangi, diganti, difiktifkan. Tulisan tersebut secara umum cenderung bersifat subjektif, ditafsirkan bermacam-macam. Itulah salah satu sebab mengapa tulisan tersebut sukar sekali dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Para ahli memasukkan tulisan yang disebut “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama” ke dalam kelompok tulisan atau karangan fiksional. Hal ini (mungkin) terjadi karena “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama” sampai dengan saat ini cenderung berisi ungkapan sesuatu yang tak faktual, diragukan kebenarannya. Karenanya, kalau mau pembaca agak kerepotan memikirkan kebenaran apa yang Anda tulis, tulis sajalah “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama”. Tapi, sekali lagi, sesuai dengan permintaan sponsor, kali ini kita omong-omong saja perihal bagaimana menulis cerita saja ya? Nanti, kapan-kapan, kita omong-omong soal penulisan naskah drama. Kata orang kalau terlalu banyak sekaligus repot nanti. Karenanya, panduan untuk menulis puisi dan cerita pun akan kita bahas satu per satu biar Anda tak kerepotan, tak kebingungan, dan berbagai tak lainnya.

MENULIS CERITA


Cerita merupakan bentuk lain tulisan/karangan fiksional yang memiliki struktur yang berbeda dengan puisi. Hal ini terjadi karena cerita secara konvensional lebih dimaksudkan untuk memaparkan peristiwa tertentu yang dialami oleh tokoh tertentu di tempat tertentu dalam rentang waktu tertentu dengan pola tulis yang khas, berbeda dengan pola tulis puisi ataupun naskah drama. Karenanya, kegiatan dan tahapan menulis sebuah cerita menjadi lebih kompleks. Sejak di SD sebenarnta kita sudah mulai belajar menulis cerita melalui kegiatan belajar menulis sinopsis cerita-cerita yang telah dibaca. Dalam kegiatan tersebut Anda secara tidak langsung melihat bagaimana pengarang cerita yang Anda baca tersebut mengurut peristiwa dalam ceritanya, menghidupkan tokoh, menggambarkan latar cerita, menggunakan kata dan kalimat, dan sebagainya. Bila Anda ingin bereksperimen lebih lanjut, Anda dapat mencoba melanjutkan cerita yang belum selesai atau bagian awal dan tengah yang sengaja dibuang/dihilangkan. Bila telah selesai lalu Anda cocokkan kembali dengan bagian-bagian tersebut. Hasil eksperimen ini bisa saja sama ataupun berbeda dengan cerita asli. Tapi itu tak jadi soal. Yang penting Anda sudah mencoba keluar dari zona aman. Anda sudah mulai kreatif. Selanjutnya, Anda dapat juga mencoba menciptakan peristiwa lain sesuai dengan imajinasi Anda setelah membaca sebuah cerita. Anda mungkin tidak setuju kalau tokoh dalam cerita yang Anda baca tersebut harus bunuh diri pada akhir cerita. Karena itu, ciptakan saja peristiwa lain yang lebih cocok menurut Anda hingga akhir cerita tersebut menjadi berbeda, dari sad ending ke happy ending. Cara lain (yang lebih ilmiah) untuk menulis cerita ialah melalui proses atau tahapan sebagaimana Anda menulis karangan ilmiah. Langkah-langkah yang perlu Anda tempuh dalam model ini sebagai berikut.

Langkah Pertama:

Sebagai penulis pemula, Anda sebaiknya membuat corat-coret kasar sebagai pegangan awal untuk pengembangan cerita Anda. Rekan-rekan Anda yang sudah menulis cerita lazimnya menyebut hal itu sebagai kerangka cerita atau jembatan keledai(?). Dalam kerangka itu termuat:

1) Pokok persoalan yang akan diceritakan;
2) Tokoh yang mengalami persoalan tersebut;
3) Tempat dan waktu terjadinya peristiwa;
4) Konflik yang dialami oleh tokoh;
5) Cara tokoh menyelesaikan konflik;
6) Nasib tokoh pada akhir cerita;
7) Dan posisi Anda sebagai pencerita.

Pokok persoalan, tokoh, dan peristiwa yang diangkat dalam cerita mungkin saja berupa kejadian nyata yang Anda alami, Anda dengar, Anda Baca, ataupun Anda lihat dalam kehidupan sehari-hari yang sudah Anda samarkan, Anda tambah, Anda perkaya dengan imajinasi, sedemikian rupa sehingga sukar dibuktikan kebenarannya oleh pembaca. Tentu saja tidak semua pokok persoalan ataupun peristiwa layak diangkat menjadi sebuah cerita karena cerita yang kuat lazimnya menyajikan pokok persoalan yang unik, yang menarik untuk diceritakan, dan memberikan suatu pencerahan pada pembaca.

Langkah Kedua:

Tentukan bagaimana sebaiknya Anda memulai atau membuka cerita. Anda mungkin dapat memilih salah satu di antara sekian banyak cara yang sudah pernah digunakan oleh cerpenis atau novelis senior dalam membuka cerita. Misalnya:


1) Perkenalkan tokoh yang akan mengalami peristiwa dalam cerita Anda. Perkenalan ini lazimnya dibuat dalam bentuk deskripsi fisik ataupun mental sang tokoh, baik dalam bentuk uraian langsung, maupun dalam bentuk monolog ataupun dialog sang tokoh dengan tokoh lain.

2) Gambarkan lingkungan alam tempat tokoh berada. Anda dapat saja memulai cara ini dengan deskripsi cuaca, kegiatan manusia/hewan, dan sebagainya.

3) Penempatan satu peristiwa tertentu yang Anda anggap kuat atau penting dalam cerita tersebut.

Langkah Ketiga


Cara Anda memulai cerita akan memberi efek pada pengurutan peristiwa dalam cerita. Para analis sering menggunakan istilah alur atau plot untuk merujuk pada cara seorang penulis mengurutkan peristiwa dalam cerita tertentu. Bila Anda memulai cerita dengan pengenalan tokoh atau lingkungan alam tempat tokoh berada lalu dilanjutkan dengan peristiwa lain secara kronologis (urut waktu kejadian), Anda menggunakan alur maju. Sebaliknya, bila Anda memulai cerita dengan peristiwa tertentu yang menjadi klimaks atau peristiwa lain yang Anda anggap kuat lalu Anda lanjutkan dengan penjelasan sebab-musabab terjadinya hal itu melalui sistem sorot balik, flashback, Anda telah menggunakan alur mundur. Tapi, Anda tak perlu memikirkan apa komentar para analis. Yang penting, ambil kertas, ambil pena, buat sebuah atau beberapa buah paragraf pembuka cerita Anda.

Langkah Keempat:

Saat membuka cerita Anda sudah harus menentukan di mana posisi Anda sebagai penulis atau pencerita. Artinya Anda harus memilih: bermain dalam cerita Anda atau jadi penonton saja. Bila Anda ikut bermain di dalamnya, Anda sebaiknya menggunakan sudut pandang aku. Semua hal dalam cerita mengalir dari tokoh aku. Sudut pandang ini memudahkan Anda dalam memaparkan berbagai hal tentang tokoh aku, termasuk pemikirannya, perasaannya, dan sebagainya. Sebaliknya, bila Anda bertindak sebagai penonton, Anda mencoba menceritakan apa yang dapat Anda amati, Anda dengar, Anda baca tentang tokoh tertentu dalam cerita. Anda berada di luar cerita dan bertindak sebagai pelapor atau komentator. Kadang-kadang, dalam cerita-cerita yang telah terpublikasikan, pelapor atau komentator menjadi orang yang mahatahu. Ia tahu juga apa yang dirasakan, dipikirkan, dan yang terbersit dalam hati tokoh. Terserah Anda sajalah. Toh, yang punya cerita juga Anda.

Langkah Kelima:

Usahakan agar tokoh cerita Anda hidup, seperti layaknya tokoh dalam dunia keseharian. Kalau tokohnya binatang atau pohon, binatang dan pohon itu mirip dengan binatang dan pohon yang Anda temukan dalam kehidupan Anda. Ia memiliki sifat-sifat kebinatangan dan kepohonan, meskipun mungkin binatang atau pohon yang Anda gambarkan itu unik, mungkin hanya ada di tempat Anda atau dalam khayalan Anda. Sebaliknya, kalau tokoh cerita Anda adalam manusia, tokoh tersebut idealnya memiliki sifat/watak seperti manusia pada umumnya. Ia memiliki sifat kemanusiaan, meski kadang Anda mungkin menggambarkan tokoh yang unik, hanya ada dalam lingkungan Anda. Karenanya, tokoh sebaiknya tergambar secara detail, baik fisik maupun mental/jiwa/perasaannya. Anda boleh saja menyebut atau menguraikan secara langsung ciri-ciri fisik ataupun perasaan tokoh Anda. Cara ini disebut cara atau teknik analitik. Namun, Anda juga dapat menghadirkan kondisi fisik, tabiat, dan perasaan tokoh Anda melalui dialog tokoh dengan dirinya sendiri, dialog antartokoh, tanggapan tokoh lain, ataupun penggambaran lingkungan tokoh. Cara ini disebut teknik dramatik. Kadang-kadang, penggambaran latar cerita dan penggunaan diksi atau kata-kata dalam dialog tokoh, seperti ungkapan-ungkapan daerah/lokal, dapat membantu memperjelas identitas dan watak tokoh Anda.

Langkah Keenam

Kalau Anda kehabisan kata, beristirahatlah. Kalau masih sanggup, lanjutkan cerita Anda dengan pemaragrafan peristiwa-peristiwa yang sudah Anda rancang dalam tahap pertama. Ingat, sebagai sebuah refleksi realitas keseharian, usahakan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh berlangsung dalam suatu urut waktu ataupun sebab akibat. Gunakan juga dialog ataupun monolog dalam paragraf-paragraf Anda untuk membantu menjelaskan mengapa peristiwa atau hal tertentu terjadi dan bagaimana reaksi tokoh utama atau tokoh lain terhadap peristiwa tersebut. Ingat, dialog ataupun monolog akan sangat membantu Anda dalam memperkenalkan dan mengembangkan watak tokoh dalam cerita sehingga mirip dengan realitas keseharian. Usahakan agar Anda tidak mengurut peristiwa atau memperkenalkan tokoh Anda dalam bentuk singkat kata atau singkat cerita.

Langkah Ketujuh:

Usahakan menjalin peristiwa yang akan diceritakan sedemian rupa sehingga menghasilkan konflik cerita. Konflik dalam cerita dapat berupa konflik antara tokoh dengan tokoh lain, konflik antara tokoh dengan dirinya sendiri, dan konflik antara tokoh dengan alam atau lingkungan. Hal ini perlu karena kekuatan sebuah cerita sangat bergantung pada konflik yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Konfliklah yang membuat pembaca menjadi hanyut, larut, ingin tahu kelanjutan, dan menghembus napas lega ataupun menangis pada akhir cerita.

Langkah Kedelapan:

Tutup atau akhiri cerita Anda bila peristiwa yang dirancang dalam corat-coret awal sudah habis. Jangan terburu nafsu untuk menambah peristiwa-peristiwa lain yang akan membuat cerita Anda menjadi kepanjangan, bertele-tele. Nanti, kalau sudah bosan jadi cerpenis, buat cerita lain yang lebih panjang (novelet) atau sekalian saja dalam bentuk yang mahapanjang (novel). Sudahlah, itu perkara nanti. Sekarang buat saja paragraf penutup untuk cerita Anda. Jumlahnya boleh satu, dua, ataupun tiga paragraf. Dalam paragraf tersebut Anda dapat saja menggambarakan keberhasilan tokoh menyelesaikan konflik yang dihadapinya (happy ending). Atau, sebaliknya, Anda membiarkan tokoh pasrah, mati, pada akhir cerita. Kalau Anda tak dapat memilih, kasihan pada tokoh Anda, biarkan saja cerita Anda menggantung, tanpa penyelesaian, biarkan saja pembaca menjadi penasaran dan menyelesaikan sendiri cerita tersebut. Kasian deh lu!

Langkah Kesembilan:

Simpan dulu cerita yang sudah Anda tulis. Kalau ada teman yang mau membaca karya Anda, alhamdulillah. Minta komentar sang teman setelah membaca cerita tersebut. Jangan marah kalau komentarnya tidak sesuai dengan harapan Anda. Semua komentar atau tanggapan harus Anda terima dengan hati yang lapang. Anda timbang-timbang saja semua komentar tersebut. Kalau Anda setuju dengan saran atau komentar rekan Anda, ubah saja seperlunya. Anda dapat juga melakukan evaluasi terhadap karya Anda secara mandiri. Saat rehat siang atau menjelang tidur malam, baca ulang apa yang sudah Anda tulis. Tanyakan:

1) apakah pokok persoalan yang mau kusampaikan telah tersampaikan dalam cerita ini?
2) apakah peristiwa-peristiwa yang kupilih ini mampu menyampaikan tema tersebut?
3) apakah tokoh yang kupilih cocok untuk menyampaikan tema tersebut?
4) apakah tokoh dan peristiwa dalam cerita mirip dengan realitas sehari-hari?
5) apakah kata atau bahasa yang kugunakan dalam cerita ini memikat, mudah dipahamioleh pembaca?
6) apakah, apakah, apakah, apakah?

Langkah Kesepuluh:

Hasil evaluasi tersebut akan mengarahkan Anda untuk merevisi atau tidak merivisi naskah yang sudah Anda hasilkan. Bila Anda rasa tak ada lagi yang perlu direvisi, coba saja kirimkan karya Anda ke surat kabar lokal ataupun nasional. Jangan lupa berdoa agar karya Anda dimuat. Kalau tidak juga dimuat setelah Anda kirim, anggap saja “kerusakan bukan pada pesawat Anda”. Anda harus terus berkarya: menulis, menulis, dan menulis lagi. Suatu saat karya Anda pasti terpublikasikan. Yakin sajalah.

Langkah Kesebelas:

Banyak-banyaklah membaca. Orang bilang, “penulis yang baik adalah juga pembaca yang baik”. Kalau ingin jadi penulis yang hebat, Anda harus banyak membaca karya yang sudah ditulis oleh penulis yang hebat sebelum Anda. Lihatlah bagaimana penulis tersebut mengemas peristiwa tertentu dalam ceritanya. Lihat juga diksi/kata-kata yang digunakan, kalimatnya, dan sebagainya. Anda boleh mencontoh hal yang Anda anggap kuat. Tapi, jangan menjiplak. Itu hukumnya haram. Lagipula, “sejelek-jelek penulis adalah penulis yang menjiplak karya orang lain tanpa perubahan apa pun”. Itu kata Mukhlis lo!

Bacaan

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Atmowiloto, Arswendo. 1984. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: PT Gramedia.
Endraswara, Suwandi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.
Teeuw. A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra: Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia
Tjahjono, L. Tengsoe. 2002. Menembus Kabut Puisi. Malang:Dioma.
Staf Pengajar pada Prodi PBSID, FKIP, Unsyiah
mukhlishamid@yahoo.com
mukhlishamid@gmail.com
acehpeacecentre@yahoo.com

“Bukan aku yang membunuh bapakmu. Tapi dia datang ke sini untuk mati!”

Suara itu masih ada di sini. Itu suaramu, emak. Jelas sekali aku mendengar itu keluar dari mulutmu. Kata-kata itu hinggap dalam ingatanku. Aku tak akan pernah mungkin melupakanya.

Sebelumnya, aku mendengar bapak berteriak keras sekali. Teriakan yang keluar memenuhi ruang hampa kamarku. Rumah yang sebelumnya sunyi, sekejap menjadi bising oleh keramaian orang-orang melayat. Mereka ingin melihat jenzah bapakku yang kau bunuh, emak. Aku sangka demikian. Hanya kau yang ada dalam ruangan itu. Sesaat setelah kalian bertengkar hebat. Tiba-tiba bapak berteriak dengan keras sekali. Bapak mati!

Dengan nafas beringas, kau keluar dari kamari itu. Wajahmu terlihat pucat basi. Seperti menyimpan ketakutan yang maha besar. Tapi kau tidak berbicara sedikitpun. Aku melihat raut wajah yang tidak mengenakkan. Aku terjebak di sana. Keringat yang sedikit-sedikit mengalir dari dalam rambutmu menenggalamkanku dalam satu cerita tentang pembunuhan yang kau susun rapi demikian.


***

Malam itu, bulan setengah mati. Aku dan bapak sedang asyik bercerita tentang nama-nama kampung di sini. Bapak suka menerka yang bukan-bukan. Ia ceritakan tentang sejarah nama-nama kampung. Tapi, semuanya tak ada yang benar. Kurasakan seperti itu. Aku dibikinnya tertawa lepas. Bapak orang yang sangat lucu. Ketika ia bercerita, wajahnya terlihat serius sekali. Sampai-sampai aku pernah yakin ketika dia bilang bisa berjalan di atas air. Tapi, setelah dia tertawa, akupun tak percaya kalau orang-orang bisa berjalan di atas air. Bapak juga demikian, dia tak percaya. Hanya saja, dia mau bercerita banyak agar aku tidak teringat pada emak yang selalu tak sempat menemani kami bercerita.

Kau ingat, emak. Saat itu kau pulang larut malam sekali. Bapak menyimpan marah dalam hatinya. Ia tak mau menyerangmu dengan pertanyaan-pertanyaan yang kau anggap konyol itu. Bapak begitu mencintai kedamaian. Dia tidak pernah berharap untuk membikin rumah bising dengan teriakan-teriakan yang tak berguna itu. Tapi, kenapa kau tak pernah sadar. Kenapa kau selalu bikin bapak menyimpan dendam. Bukankah dengan cinta aku bisa kau lahirkan?

Saat itu, aku langsung pergi ke kamarku. Menyendiri dan menjauh dari mangsa beringasmu. Aku begitu takut karena kau pulang dengan wangi tak sedap. Aroma alkohol ada di mana-mana. Bau yang keluar dari mulutmu hinggap di ruang tamu rumah kita, di asbak rokok, di sofa dan tempat kau campakkan baju yang kau gunakan untuk menutupi tubuhmu yang mungil itu. Tubuh yang telah kau jual dengan harga yang bisa di tawar.

Seberapa paham kau dengan kegundahan yang dirasakan bapak? Hingga kau tak pernah mengenal caranya berbicara. Kau selalu membenarkan diri, emak. Kau tipu kami dengan kedok bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku tak pernah menyalahkan bapak yang tak pernah memilki pekerjaan yang tetap. Tapi, betapa indahnya senyum bapak ketika pulang ke rumah meski hanya membawakan segenggam beras untuk dimasak.

Tapi, tidak dengan kau. Kau pergi ketika matahari sedang diusir malam. Tak kau hiraukan suara tilawah yang dikumandangkan dari surau tepat di depan rumah kita. Bahkan aku lihat kau mengacuhkan saran bapak agar kau pergi setelah langit tampak gelap. Sialan, kau bilang kau malas mencium bau bapak yang tak sedap itu.

Siapa sangka bibir tipismu itu telah menjadi racun bagi bapak. Emak, kau tutupi rupa aslimu dengan bedak dan perias lainnya. Kau tampak cantik sekali ketika malam hari. Tapi, sayang sekali, aku tak pernah melihat kecantikan itu kau peruntukan bagi bapakku yang malang. Dengan sengaja kau rias diri untuk mereka yang bajingan itu. Mereka yang selalu menikmati setiap keindahan yang kau miliki.

Sebelum kau pulang, bapak selalu menyempatkan diri duduk di teras. Dia menunggu kepulanganmu. Kadang-kadang, aku menemani kesendiriannya. Biasanya bapak mau jika aku temani. Bahkan, ia akan menceritakan tentang kisah cinta yang kalian alami semasa remaja. Bapak tak pernah malu menyimpan rahasia padaku. Meski kadang raut wajah merah jelas dia tampakkan padaku. Tapi, aku setia mendengar cerita-cerita itu. Ia begitu bersemangat sampai-sampai aku dibikin tidur dalam pangkuannya. Dan, ketika pagi menjelang, kau tak kunjung pulang. Bapak begitu gelisah. Kau tak pernah merasakannya, bukan?

Bapak tak bisa menghubungimu. Telepon genggammu mati. Dia menyuruhku untuk bergegas pergi ke sekolah. Sedang dia menunggu kepulanganmu. Aku pun menuruti kemauannya. Aku tak ingin membuat dia sedih seperti yang telah kau lakukan padanya. Tidakkah kau membayangkan betapa sudah keringnya air mata bapak. Dia selalu mencintamu, emak. Selalu. Aku tahu dia tak akan pernah menjadikan emak sebagai musuh apalagi untuk diburu dan dibunuh. Tapi, mengapa kau tak pernah sadar akan cintanya, emak?

***

Aku ingat sekali kata bapak tentangmu. “Cintailah emak mu, Agam. Kau akan merasakan hal yang paling bahagia di sana. Meskipun dia tidak pernah sadar akan cinta yang telah kita tampakkan. Tapi, kita harus yakin pada cinta kita agar suatu hari emak tahu bahwa kita begitu mencintanya.” serupa itulah kata bapak untukku. Dia selalu menginginkan aku mencintai dan menyayangi emak.

Waktu kau pulang ke rumah, malam itu. Aku mengintip dari lubang pintu yan kubuat. Aku mendengar perkataan ayah untukmu. Semuanya kudengar dan masih kuingat sampai sekarang. Saat itu, bapak menasehatimu agar lebih memperhatikan keluarga kita. Tapi, kau menyangkalnya. Kau menyalahkan bapak yang tidak memiliki perkerjaan tetap sepertimu. Kau mengatakan bapak seorang pemalas. Dia marah bukan. Aku melihatnya, emak. Tapi, rupa marah bapak itu tidak benar. Dia hanya ingin meyakinkan agar kau tak lagi bekerja seperti itu. Dia ingin kau lebih sering di rumah ketimbang harus bergaul dengan malam yang aneh itu. Kau kembali menyalahkan bapak. Katamu, bapak itu seorang yang tak berguna karena tak bisa memberikan apa yang kau minta.

Aku melihat bapak menarik kau ke dalam kamar. Kalian bertengkar hebat sekali. Aku tak tahu persisnya kenapa. Yang kudengar kalian seling berteriak dan tidak mau mengalah. Kau terlalu keras untuk dinasehati. Sedang bapak, terus berusaha membuatmu bisa mematuhi apa yang menjadi keinginannya.

Tiba-tiba bapak berteriak keras sekali. Setelah itu, semua menjadi diam. Aku takut dan gelisah. Aku mencoba mendekati kamar kalian agar bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku tak berani melakukannya. Aku takut kau dan bapak marah padaku. Maka aku putuskan untuk diam diri sembari menunggu kau dan bapak keluar dari kamar.

Lama sudah tak ku dengar suara bapak. Kau pun demikian. Diam, tanpa suara apapun di sana. Aku semakin gelisah. Hatiku merasa sangat ketakutan sekali. Ada yang aneh di sana. Aku pun memutuskan untuk keluar dari kamarku dan mendorong pintu kamar kalian. Aku begitu terkejut dan sepertinya tak bisa kupercaya. Kau memegang pisau yang tertancap di dada bapak. Darah bapak membalut baju dan tubuhmu. Kau pembunuh. Kau telah membunuh bapakku, demikian ucapku. Tapi kau mengelak. Sambil menangis kau mengatakan, “Bukan aku yang membunuh bapakmu. Tapi dia datang ke sini untuk mati!”

Aku melihat wajah pucat dan tubuh bapak yang telah terbaring kaku. Sedang kau, sibuk mencoba membangunkan bapakku yang sudah mati. Setelah itu kau mengangis sedih sekali. Aku melihat cinta dalam tangis itu. Tapi, mengapa kau tak pernah memelukku. Sampai, ketika pisau kecil itu kau tujukan kejantungmu. Aku pun tak pernah tahu apakah kau mencintaiku? Apakah kau menganggap aku sebagai anakmu.

Aku yakin bapak telah tenang di sana. Tapi, apa kau juga demikian? Sepertinya kau tak pernah tenang. Tapi, apapun itu. Kau tetap orang yang telah melahirkanku. Kau tetap emakku. Aku mencintamu seperti abah mencintaku dan juga mencintamu.

Emak, aku pamit dulu. Lebaran nanti, aku akan kembali ke sini. Kelak, jika aku meninggal, aku ingin dibaringkan di sampingmu dan bapak. Semoga kalian berdua selalu dalam ampunan tuhan. Selamat lebaran bapak dan emakku. Aku mohon maaf karena tak sempat singgah lebaran yang lalu.

Banda Aceh, November 2009

Akmal M. Roem lahir di Lam U, Aceh Besar. Saat ini bekerja sebagai penulis lepas dan pengurus ruang seni di Episentrum Ulee Kareng, Aceh

Negeri Gadis Kecil yang Misterius

Oleh : Akmal MR

Aku seperti manusia yang dililit jerami kusam dalam terik matahari hingga membuat pandanganku kabur sampai apa yang aku lihat betul-betul tak tampak lagi. Padahal aku baru saja merasa senja yang begitu indah hingga ia takluk pada malam yang menyajikan jutaan titik kedamaian, pada tengah ia beri lingkaran sebagai lentera yang siap memberi cahaya yang indah.

Namun Apa yang terjadi pada tubuhku disini? Kenapa aku tak bisa mengerakkan tubuhku. Tak bisa kekiri juga tak bisa kekanan. Akupun tak sanggup membuka mata dan berteriak lagi. Sungguh aku tak bisa. Apa yang telah membuat aku begini? Kenapa begitu banyak jerami menggulungku?

Dari kejauhan aku melihat satu titik cahaya yang sangat aneh namun cahaya itu menyajikan sebuah keindahan yang membuat jiwa tenang karenanya, ia berputar-putar dengan lembut dan sesekali bergerak ke arah kiri dan kemudian kekanan. Akupun mencoba menggapai cahaya itu, keindahannya membuat aku merasa sangat damai. Namun tiba-tiba cahaya itu berubah menjadi api yang sangat ganas dan bergerak cepat menuju arahku. Aku sangat terkejut, lalu aku berlari menjauh dari kerajaran api itu, aku sangat ketakutan ditambah lagi dengan kedua kakiku yang sangat susah aku gerakkan, rasanya begitu berat Aku terus mencoba melawan ketakutan ini walau telah hinggap dalam benak ini.

Aku terus berusaha menjauhkan diri dari pikiran yang memungkinkanku luruh akan ketakutan hinggaku rapuh dan bisa-bisa aku terjebak diantara dua dunia berbeda. Dua dunia berbeda adalah dimana saat mnusia merasa diambang tak sadar, saat itulah terjadi saling tarik hingga banyak yang berkata mereka kesurupan, kerap emakku bercerita tentang agar aku bisa sadar jika aku berada pada posisi itu. Konon katanya saat masa itu merangkul kita, disitu akan ada sebuah pertempuran antara batin dengan lahiriah kita. Aku juga tak pernah merasakan itu, tapi tatkala emakku bercerita tentang itu, bulu kudukku selalu merinding seakan apa yang emakku cerita berada tepat dibelakangku.

Aku sungguh belum mengerti apa yang terjadi padaku. Padahal api itu telah mendekatiku, namun ketika aku terus melotot kearahnya, api itu hilang dengan sendirinya. Aku merasa ada yang tak beres dengan diriku ini. Akupun memilih untuk pergi dari tempat ini. Aku terus berjalan di tempat itu. Tempat yang sangat aneh, aku tak pernah melihat tempat seperti ini sebelumnya. Aku seperti debu-debu jalanan yang dihempas kendaraan hingga aku melekat pada jerami tua kemudian aku dibakar lalu aku melebur menjadi abu yang hitam bersama jerami, dan akan beulang seperti itu lagi dan lagi.

Sepertinya aku sangat kecil diantara pohon-pohon yang berdiri tegap dihadapanku. Pohon itu telah menenggelamkanku dalam kegelapan malam. Aku masih tetap saja merasa kecil, aneh, dan seperti tiada lagi didunia nyata. Sekalipun umurku telah menjauh dari putik, namun baru kali ini aku melihat hal yang sedemikian rupa ini. Pepohonan yang sangat besar melingkar di hadapan, samping, dan dibelakangku. Disela-sela pohon itu aku melihat gadis kecil sedang menimba air, ia sendiri maka kuhampiri dia untuk menanyakan kejelasan tentang ditemapt mana aku sekarang ini. “hai,... apa kamu tau tempat apa ini?” aku bertanya padanya sambil membantu mengambilkan beberapa jerigen yang masih berada diatas becak yang dia dorong entah dari mana. Tak ada jawaban! “apa gadis ini bisu?” gumamku dalam hati.

“Jika mungkin dia bisu, jadi kenapa tak menoleh padaku, apa mungkin dia tidak bisa mendengar? perasaanku terus mengerutu melihat tingkah gadis itu yang tak mau memperlihatkan wajahnya padaku.

Sepertinya gadis itu cukup molek. Aku sangat ingin mengenalnya. Maka aku terus memperhatikan cara dia menimba air. Rambutnya yang sangat panjang membuat bagian punggungnya tertutup. Namun sesekali terlihat juga karena rambutnya terangkat ketika dia mencoba menimba air di sumur yng terlihat tua dan lesuh sepertinya sumur itu sangatlah dalam dan tak ada yang merawatnya.

“dek, boleh aku yang membantu mengambilkan air itu untukmu?” ucapku akrab meminta untuk membantu gadis itu. Namun dia juga tak mau membalikkan mukanya untuk melihatku. Sungguh begitu membuatku semakin tertantang untuk mencoba dengan cara lain. Namun usahaku mulai tampak menuai hasil, gadis itu memang tak melihatku tapi ia malah menyuruhku untuk membantu mengikat rambutnya yang terurai tak lagi rapi akibat angin yang tiba-tiba saja datang sejenak namun membuat rambut gadis kecil itu tak secantik tadi.

Perasaanku pun tertarik dengan apa yang ia suruh. Dengan niat membantu, aku langsung mendekati dan meminta gaya ikatan rambut seperti apa yang ia mau. Ketika aku mencoba menyentuh rambutnya, aku merasa dalam diriku ada sebuah kemenangan baru karena mampu membuat gadis itu mau mengajakku untuk membantunya walau aku sungguh tak pernah mengenalnya. Bahkan sampai aku memegang rambut dia yang akan ku ikat, dia juga tak menolehkan matanya padaku. Sungguh memang sangat begitu ajaib dan tak mungkin ada manusia seperti itu.

Ku ajak dia bicara, tapi dia tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya untukku. hingga aku menyerah dan aku hanya bercerita walau dia tak menaggapinya dengan baik, tapi sepertinya aku lega telah berbagi cerita tentang aku dikejar oleh gumpalan api yang sangat mengerikan tadi.

Sambil aku bercerita aku terus menggulung rambutnya yang hendakku kepang agar dia terlihat lebih cantik.

“tolong kau angkat rambutku, coba kau lihat apa yang ada dipunggungku, tolong, aku merasa sangat gatal” gadis itu mulai berbicara.

“yah,...maaf. aku tidak berani” jawabku dengan tegas.

“tapi ini memang amat sangat gatal, tolong aku” kembali ia mengulang pintanya itu. Aku tak tahu mesti harus bagaimana, dan akupun mencoba mengangkat baju kaos putihnya yang ukurannya sangat tidak pas bagi tubuhnya yang kecil dan langsing.

Lepas mengangkat baju dia, aku melihat ada yang merah dipunggung dia. Merah yang juga sangat aneh, semakin aku melihat kearah merah itu, semakin ia membesar dan tiba-tiba merah itu membusuk sambil mengeluarkan ratusan ulat kecil yang membuatku lari ketakutan lalu menjauh darinya. Aku begitu takut! Seraya ia menurunkan bajunya kembali, ia meoleh kebelakang dan langsung melihat kearahku. Aku tak sanggup lagi menahan nafas, aku begitu takut, aku seperti melihat monster yang sangat ganas. Gadis kecil yang ku lihat itu berubah menjadi wujudnya. Dengan muka yang penuh luka dan darah yang sangat bau, dia mendekati aku seakan-akan ingin menyatapku. Tangannya berubah menjadi lebih ganas, dengan kuku yang tajam dan panjang, bulu yang sangat mengerikan itu keluar dengan sendirinya dari tubuhnya.

Rasa takut ini semakin menjadi-jadi saat dia hampir menagkapku. Namun ketika aku berteriak dengan keras, sedikit ia menjauh. Namun sesaat kemudian dia datang lagi. Dengan wajah yang kian lama kian ganas itu dia terus mengejarku. Dan akhirnya dia mendapatkan aku. Beberapa kali aku dicekik dan digigit olehnya.

Aku kembali berlari, tapi kali ini gadis itu mendapatkanku. Aku terus berteriak namun serasa mulutku ditutup dengan bantal. Aku betul-betul tak sanggup mengeluarkan sepatahkatapun dari mulut ini. Aku juga tak tahan lagi. Aku mencoba melawan dan terus melawan, aku ingin lepas dari ini. Sepertinya aku tak bisa lagi lepas karena aku telah didalam dekap kematiannya. Aku tak menangis tapi airmataku terus mengalir. Suaraku hilang tak tahu entah apa yang telah membuatku seperti ini. Namun,.. akhinya setan yang menjelma gadis itu telah pergi. Aku terbangun dan ku lihat sekujur tubuhku basah oleh keringat yang sangat banyak. Kemudian aku sadar bahwa yang tadi aku lewati hanya sebuah mimpi.

Rasa panas menyelimutiku dan hendak membuatku percaya apa yang baru aku lewati merupakan sebuah kenyataan. Memang rasa takut itu masih membayang, namun bagiku itu hanyalah sebuah mimpi dan tetap saja itu mimpi. Yang aku pikirkan sekarang adalah mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Kenapa saat aku bangun leherku terasa sangat sakit, bahkan ada bekas jari seperti baru saja mencekikku dengan kuat sekali.

Apa yang salah denganku? Saat aku tidur tadi sepertinya memang ada tanda-tanya aku akan bermimpi. Tapi yang ku bayangkan bukanlah mimpi seperti itu. Aku hanya membayangkan betapa indahnya bila aku lebih dekat dengan senja, apalagi jika aku menyaksikan ia takluk oleh malam, aku berada diatas gunung. Itu yang aku harapkan menjadi mimpi dan seterusnya de javu. Jika mimpi yang telah ku lewati tadi menjadi sebuah kenyataan, apa yang akan aku lakukan? Aku betul-betul sangat ketakutan. Aku berharap mimpi itu tak jadi nyata.


Ulee Kareng, 13 April 2007

Mencar Arti Demokrasi di Negeri Ganjil

Oleh : Akmal M. Roem

Aku kembali dililit jerami kusam
mataku lenyap dalam gelap yang begitu suram
aku kini mengembara dalam gumpalan asa
yang membuat tubuhku kaku

Aku tercengang melihat api itu
sepertinya ia ingin membakar seluruh tubuhku
apakah aku bermimpi?
dimanakah aku kini?
Kuteriakkan pada malam
bahwa aku telah dewasa
pikiranku tak lagi berlumut sepi
namun, malam tak menghiraukan kata-kataku
Apakah tubuhku yang kecil ini membuat mereka murung
melihatku?


atau mulutku yang tak bisa bersuara?
tapi, sepertinya aku tak sekecil
awan yang membungkus matahari senja di Lembah Direu
Aku ingin terus berteriak bahwa aku telah dewasa
biar pun malam tak mendengarku
tapi, aku akan terus mencoba meyakini bulan
bahwa aku bisa berbuat
untuk tanahku yang semakin renta
Tubuhku tlah lepas dari lilitan jerami,
malam mencoba menghiburku dalam cahaya bulannya
yang damai dan sunyi
tapi disana…
kulihat bintang telah menyisakan satu makam
bagiku
dan
jiwaku
untuk lelap

Waktu Batu

Akmal M. Roem

Sepertinya sajak yang kutulis ini tak memiliki arti lagi
Dia hilang dalam waktu yang telah mejadi batu

Katamu; “waktu bukanlah jawaban kegelisahan atas apa yang kurasa”

Aku ingin sekali mencatat apa yang kau bisikkan itu,
Biar pun mereka menyangka bahwa cinta karena manusia itu indah,
Tapi, aku lebih memilih mencintamu karena Tuhan yang menuntun hatiku


Katamu; “ketika malam datang, aku seperti bayi yang hanya terus ingin menangis”

Malam menuntunku untuk mangadu padaNya
Bertanya tentang jawaban dari kegelisahan yang kurasa hari ini
Di dalam dekapan sunyi
Aku mengadu padaNya

Katamu; “Malam itu waktu yang menjadi batu, diam dan sunyi. Kita di sana. Bersujud!”

Aku akan selalu dituntun waktu
Dalam dekap malam
Dalam hati yang damai
Dalam jiwa yang sunyi
Hanya ada aku
waktu
kau
dan
sujud

kita hambaNya

Banda Aceh, 20 Oktober 2009

Tips Memulai Usaha Menerbitkan Buku

Self-publihsing (menerbitkan buku sendiri) adalah kegiatan penerbitan karya-karya sendiri. Sementara, Independent Publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independen, yang menerbitkan karya-karya sendiri maupun karya orang lain. Biasanya penulisnya sendiri yang menjalankan order dan proses pekerjaan cetaknya, entah itu step by step printing process atau menyerahkan order cetaknya langsung ke percetakan tertentu.

Salah satu tren perbukuan ke depan adalah maraknya pendirian penerbitan mandiri ini. Mengapa? Ya, karena sekarang membuat penerbitan sendiri sudah sedemikian mudahnya. Selain itu, banyak manfaat yang bisa diambil, selain juga potensi bisnisnya yang lumayan.

Nah, bagi Anda yang ingin mencoba membuat self-publishing atau independent publishing, di sini akan coba diuraikan secara singkat segala tetek-bengek pembuatan penerbitan mandiri ini dalam 8 (delapan) langkah berikut.

Langkah ke-1: Siapkan Naskah
Siapkan naskah yang siap terbit dan memenuhi kriteria siap terbit. Naskah siap terbit artinya naskah yang sudah tersunting secara rapi dan lengkap. Naskah yang sudah rapi dan lengkap akan memudahkan proses penerbitan buku. Sementara, naskah yang tidak lengkap dan rapi bisa sangat merepotkan. Untuk Anda yang ingin benar-benar mendapatkan manfaat finansial dari ‘petualangan penerbitan’ ini, dianjurkan supaya benar-benar memilih naskah buku yang berpotensi untuk laku keras. Atau, akan jauh lebih baik lagi bila naskah itu berpotensi menjadi buku best-seller. Kecuali Anda memiliki misi khusus dengan penerbitan naskah tertentu, maka soal laku atau tidak laku memang tidak terlalu memusingkan.

Langkah ke-2: Siapkan Modal

Siapkan modal yang cukup untuk mencetak dan mempromosikan buku. Perkiraan saya, jika kita bisa efesien sekali dalam proses penerbitan ini, maka dengan modal sekitar Rp15-30 juta kita sudah bisa menerbitkan buku fast book atau buku ukuran 14 x 21 cm dengan rata-rata ketebalan antara 150-200 halaman dan oplah mencapai 3.000 eksemplar. Di sejumlah kota seperti di Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya, kadang dengan modal di bawah Rp10 juta pun bisa jalan dengan jumlah cetak yang lebih sedikit.

Nah, sebagian orang tidak bermasalah dengan modal. Bagi yang datang dari lembaga konsultan bisnis, perusahaan, atau pembicara publik, biasanya tidak menemui kesulitan soal modal penerbitan. Sementara, bagi sebagian lagi amat bermasalah alias sulit mendapatkan modal. Tak sedikit penulis yang memanfaatkan royalti buku-nya untuk memodali dan mengawali penerbitan mandiri mereka. Sebagian lain ada yang patungan dengan rekan-rekannya. Prinsipnya, asal ada naskah yang bagus potensi pasarnya, maka modal pasti tidak sulit didapat.

Langkah ke-3: Siapkan Nama ( Merk ) Perusahaan Penerbitan
Merumuskan nama penerbitan yang menjual. Ini merupakan satu tahap yang penting dan sangat menarik. Bagaimana tidak? Membuat nama penerbitan layaknya menciptakan sebuah merek produk. Kita menciptakan identitas yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah institusi.

Sementara mereknya sendiri bisa saja berkembang dan memiliki ekuitas yang tinggi. Bolehlah kita berandai-andai suatu saat penerbitan yang kita lahirkan ini akan besar dan mapan sebagaimana penerbitan-penerbitan lainnya.

Maka dari itu, sekalipun kita bebas memilih nama penerbitan, saya anjurkan supaya Anda memilih atau menciptakan nama penerbitan yang memiliki makna tertentu, sekaligus punya nilai jual.

Langkah ke-4: Siapkan Design Cover

Menyiapkan desain cover dan tata letak (lay-out). Untuk kedua pekerjaan ini, kita bisa melakukannya sendiri bila mampu, atau dengan menggunakan tenaga desain profesional. Kita bisa memanfaatkan tenaga-tenaga desainer freelance atau mereka yang biasanya bekerja di perusahaan penerbitan, percetakan atau biro design. Selain itu, kita juga bisa mendapatkan desainer cover atau penata letak dengan cara mem-posting pengumuman ke milis-milis perbukuan.

Untuk tata letak buku, biayanya bervariasi tergantung pada ketebalan buku serta ornamen-ornamen di dalamnya. Jika naskah buku kita banyak menggunakan grafik, foto, atau detail ornamen yang rumit, maka biaya tata letaknya bisa agak mahal ( standar Rp. 1.500.000,- s/d 3.000.000,- ). Sementara, tata letak buku yang hanya berisi teks tidak memerlukan biaya mahal karena relatif lebih mudah dikerjakan (standar Rp. 750.000,- s/d 1.500.000,- ).

Soal biaya desain cover bervariasi, tergantung pada siapa yang mengerjakan dan jenis desain yang dikehendaki. Di Yogyakarta, kita bisa mendapatkan desainer kaver standar dengan fee berkisar antara Rp. 400.000,- s/d 800.000,- Adapun di Jakarta, fee untuk desain kaver standar berkisar antara Rp. 600.000,- s/d 1.200.000,- Untuk desain-desain tertentu, biayanya bisa lebih mahal. Saya dengar, seorang desainer kaver buku yang cukup punya nama menetapkan fee sebesar Rp10 juta.

Langkah ke-5: Urus ISBN dan Barcode
Urus ISBN dan membuat barcode. Setiap judul buku perlu ‘identitas’ yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan nomor ISBN. Jika sudah mendapat nomor ISBN, maka pekerjaan berikutnya adalah membuat barcode buku. Perpustakaan Nasional, tempat kita mendaftarkan ISBN buku kita, juga melayani pembuatan barcode. Tapi, kita bisa buat sendiri barcode dengan menggunakan program Corel Draw, asal sudah mendapatkan nomor ISBN.

Cara mendapatkan ISBN mudah sekali. Kita cukup menyiapkan satu surat permohonan ISBN (ditujukan kepada Kepala Perpustakaan Nasional u.p. bagian ISBN) dengan dilengkapi fotokopi halaman judul buku, halaman hak cipta, daftar isi, dan pendahuluan. Berkas bisa dikirim via pos, faksimili, atau diantar langsung ke: Gedung Perpustakaan Nasional RI (lantai 2) di Jalan Salemba Raya 28-A, Jakarta (Telp: 021-3101411 psw 437).

Bila kita baru pertama kali menerbitkan buku, maka kita akan diminta mengisi formulir keanggotaan ISBN. Kita akan mendapatkan kartu keanggotaan ISBN dan penerbitan kita tercatat di Perpustakaan Nasional. Pengalaman selama ini, mengurus ISBN berlangsung cepat, tak kurang dari 15 menit dan hanya membutuhkan biaya administrasi Rp25.000,- (tanpa film barcode) untuk setiap judul buku.

Langkah ke-6: Pilih Percetakan yang Tepat
Memilih percetakan yang tepat. Ada banyak jenis percetakan, tetapi pastikan untuk hanya memilih percetakan yang sudah berpengalaman dalam mencetak buku. Jangan pilih sembarang percetakan, terlebih percetakan yang hanya sekali-sekali mencetak buku. Jangan pula tergoda dengan percetakan yang asal murah. Terpenting adalah kualitas cetak dengan harga yang wajar. Ingat, produk buku punya bobot lain dibanding materi-materi cetak lainnya. Kalau kualitas cetaknya buruk, lupakanlah soal kredibilitas, kepercayaan, dan soal brand penerbitan maupun penulisnya.

Jika kita seorang pemula dalam penerbitan buku, usahakan mendapat pelayanan dari staf marketing percetakan tersebut. Hampir setiap percetakan yang baik pasti menyediakan staf marketing yang siap melayani kliennya. Berurusan dengan percetakan seperti ini, kita bisa tinggal menyerahkan materi cetak, sementara mereka yang akan mengurus detailnya. Dan untuk amannya, pastikan pula kita bisa bersinergi dengan bagian percetakan dan desainer kaver maupun penata letak isi buku.

Langkah ke-7: Kalkulasi Harga Jual
Menentukan harga jual buku. Setelah mengetahui biaya cetak dan komponen-komponen biaya lainnya (desain kaver, tata letak, editing, promosi), maka kita sudah bisa memperkirakan harga jual buku nantinya.

Bagaimana rumusan kalkulasi harga jualnya? Mudah: seluruh biaya produksi pencetakan dibagi dengan jumlah oplah buku, lalu dikalikan lima, hasilnya adalah harga jual buku kita. Contoh: biaya produksi Rp24.000.000 dibagi jumlah cetak 3.000 eksemplar (ketemu harga produksi @ Rp8.000) dikalikan lima = Rp40.000. Jadi, harga jual buku kita di toko nantinya Rp40.000. Formula harga di atas adalah yang paling umum digunakan dan membuat harga buku tetap terjangkau.

Ada pula yang menggunakan bilangan pengali antara 6-7 kali untuk menetapkan harga jual. Akibatnya, harga buku menjadi jauh lebih mahal. Di satu sisi ini menguntungkan penerbit, di sisi lain ini berisiko juga, karena harga yang terlalu tinggi juga mempengaruhi minat beli konsumen. Oleh karena itu, pada kesempatan pertama menerbitkan buku, jangan pernah tergoda untuk melambungkan harga buku.

Bila ingin mengunakan angka pengali lebih dari lima, pertimbangkan betul-betul daya serap pasar nantinya. Bila perlu, mintalah masukan dari konsultan penerbitan, distributor, atau toko buku kerena merekalah yang paham soal itu.

Langkah ke-8: Pilih Distributor yang Bonafid
Mengadakan perjanjian distribusi dengan distributor. Pada saat naskah buku naik cetak, kita sudah harus mendapatkan distributor buku. Sebab, bila kita sudah mendapatkan distributor buku saat proses pencetakan berlangsung, maka selesai cetak buku itu bisa langsung dikirim ke gudang distributor. Distributor buku adalah salah satu pilar utama bisnis penerbitan, selain toko buku dan penerbit itu sendiri. Sebagai penerbit, bisa saja kita berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan buku kita (konsinyasi atau beli putus).

Tapi, untuk menghemat tenaga, menjangkau toko-toko secara nasional, dan mempermudah persoalan administrasi, lebih baik kita menggunakan jasa distributor. Banyak distributor buku dengan kekuatan maupun kekurangannya masing-masing. Hampir semuanya menggunakan sistem konsinyasi (beli kredit atau pembayaran sesuai dengan jumlah buku yang laku). Ada yang lingkupnya nasional serta menjangkau hampir seluruh toko buku, ada pula yang lingkupnya lokal dan hanya menjangkau toko-toko buku tertentu.

Diskon yang diminta oleh distributor (yang nantinya dibagi dengan toko-toko buku) berkisar antara 45-60 persen dari harga jual buku. Soal diskon, kita bisa bernegosiasi dengan pihak distributor dan kemudian kerjasama itu dibuat dalam format kontrak kerjasama pendistribusian. Nantinya, sebulan sekali kita akan menerima laporan penjualan buku kita. Sementara, jatuh tempo pembayaran bervariasi antara distributor yang satu dengan yang lain. Ada distributor yang sudah bisa membayar dalam setengah bulan, namun ada pula yang baru membayar dua bulan setelah laporan penjualan kita terima. Semua ketentuan itu termaktub dalam kontrak kerjasama.

Pada intinya, delapan langkah itulah yang kita butuhkan untuk mendirikan sebuah penerbitan mandiri. Kedelapan langkah tersebut sudah mencakup persiapan penerbitan hingga peredaran buku ke pasaran. Sebab, begitu buku kita sudah sampai di tangan distributor, maka biasanya seminggu kemudian buku tersebut sudah beredar di toko-toko buku.

Sebagai penerbit, kita sudah menyelesaikan satu rangkaian proses produksi atau penerbitan buku. Dan, begitu buku produksi penerbitan mandiri kita beredar di toko-toko, maka sejak itulah merek penerbitan kita resmi beredar di tengah-tengah khalayak. Tugas kita selanjutnya sebagai penerbit adalah membuat gema promosi dengan berbagai aktivitas supaya khalayak tertarik dan kemudian membelinya.

Tapi, sering ada pertanyaan begini, “Apakah membuat penerbitan mandiri itu harus disertai dengan pendirian badan usaha semacam PT atau setidaknya CV? Bagiamana soal pajak dan sebagainya?” Jawabannya standar saja, tidak selalu. Apabila penerbitan ini formatnya self-publishing atau independent publishing, terlebih bila masih coba-coba menemukan format, mengapa harus di-PT-kan? Langkah itu akan menambah beban biaya lagi, sementara ‘petualangan penerbitan’ belum tentu menguntungkan.

Nah, apabila nantinya penerbitan yang kita bangun itu menguntungkan, bisa memproduksi buku lebih banyak lagi, bisa mempekerjakan beberapa orang, manajemen sudah dirapikan, urusan pajak sudah dipersiapkan dan ditata dengan lebih baik, silakan bentuk badan usahanya. Dunia penerbitan kita banyak diwarnai oleh langkah-langkah semacam ini.

Hampir semua penerbit kecil atau independen pada awalnya berusaha memperkuat bisnisnya dulu. Setelah mampu memperkuat basis bisnisnya dengan terus mengembangkan diri, barulah kemudian membakukan penerbitannya dalam sebuah badan hukum dan kemudian memproklamirkan diri menjadi penerbitan umum.
Jadi, tunggu apa lagi? Selamat mendirikan penerbitan mandiri.

(sumber: www.chabelita.biz)