Your Ad Here

Mari Menulis Sasta!!!

Laman ini dibuat untuk berbagi bersama penikmat sastra. Mari meningkatkan kembali ranah sastra Indonesia yang sudah mulai meredup ini. Bagi Anda yang ingin berpartisipasi, silakan kirim naskah sastra Anda ke; aamovi05@gmail.com dan pastikan tulisan sastra Anda ada di blog ini.
salam sastra Indonesia

Thursday, February 18, 2010

CERITA-CERITA DI CANDI SUKUH DAN KORELASINYA BAGI PEMBELAJARAN SASTRA TRADISIONIL

Oleh Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum


1. Pengantar

Sastra tradisionil merupakan suatu jenis sastra yang khas. Jenis sastra ini biasanya diikuti oleh nuansa fungsi yang kental sehingga fungsinya sering tidak sekedar bacaan, melainkan jugamerupakan suatu bacaan sakral yang memiliki kaitan dengan kepercayaan masyarakat pemilkinya. Sastra tradisionil juga seringkali kental dengan nuansa pendidikan dan penanaman tradisi.

Karena itu, salah satu topik pembahasan adalah mengenai fungsi sastra tradisionil tersebut di masyarakat. Namun, penelitian tentang fungsi tersebut mengalami kendala. masyarakat pemilik sastra tradisionil tersebut dewasa ini sudah tidak ada dan yang ada hanyalah artefak sisa-sia kegiatan mereka. Artefak-artefak tersebut yang kemudian kita tafsirkan dan mencoba mendapatkan pemahaman.

Tulisan ini berusaha memahami sastra tradisionil dalam korelasinya dengan artefak-artefak di Candi Sukuh yang di dalamnya tersimpan teks-teks sastra tradisionil dalam bentuk yang lain, yakni divisualisasi dalam relief-relief dan arca-arca.

2. Beberapa hal tentang Candi Sukuh

Candi Sukuh merupakan sebuah candi yang terletak di lereng Gunung Lawu. Candi ini konon didirikan pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Yang memanrik bahwa candi tersebut dibangun jauh dari pusat kerajaan di Majapahit yang berada di Jawa Timur. Candi Sukuh konon dibangun pada antara tahun 1416 dan 1459. Candi Sukuh ini di antaranya juga menampilkan Bima sebagai tokoh dari Mahabharata yang ditampilkan sebagai simbol potensi dan penyalur kekuatan abadi. Di dalam Candi Sukuh juga ditemukan simbol kesuburan dengan digambarkan secara realis alat kelamin pria dan wanita di pintu gerbangnya. Candi Sukuh dalam hal gaya berhubungan dengan gaya prasejarah Indonesia yang sudah terpendam selama 1500 tahun (Holt, 1967:33).

Yang menarik bahwa di dalam candi ini dilukiskan cerita-cerita pelepasan dan cerita-cerita ruwat. Setidaknya ada dua cerita dari khasanah sastra tradisionil yang menjiwai candi ini. Cerita tersebut adalah cerita dari Adiparwa dan cerita dari Kidung Sudamala. Cerita kedua hasil sastra tradisionil tersebut pada pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.

2.1. Kidung Sudamala

Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang wisesa melaporkan kepada Batar Guru bahwa Dewi Uma telah berbuat serong. Laporan itu menjadikan Batara Guru marah dan mengutuk Dewi Uma menjadi raksasa wanita yang mengerikan. Batara Guru mengatakan nanti akhirnya yang dapat melepaskan kutuk itu adalah Sadewa, anak Kunti. Batari Uma lalu tinggal di hutan Setra Gandamayu sebagai ratu lelembut (makhluk halus).

Dua orang gandarwa juga dikutuk Batara Guru lalumenjadi raksasa bernama Kalanjaya dan Kalantaka lalu mengabdi ke Hastina. Hal itu menjadikan Pandawa sedih. Dewi Kunti lalu bertapa di Setragandamayu untuk mendapatkan bantuan. Dewi Kunti lalu ditemui Batari Durga yang bersedia membantu menyingkirkan Kalanjana dan Kalantaka asalkan Dewi Kunti bersedia menyerahkan Sadewa. Kunti pada mulanya tidak mau menyerahkan Sadewa, namun ketika roh seorang makhluk halus memasuki badan Dewi Kunti, maka Kunti lalu menyerahkan Sadewa ke hadapan Batari Durga.

Di hadapan Batarai Durga Sadewa diminta meruwatnya, namun Sadewa tetap tidak mau karena tidak bisa. Hal itu menimbulkan amarah Batari Durga, tetapi sadewa tetap diam saja. Peristiwa itu dilihat oleh Batara Narada yang segera melaporkan kepada Batara Guru. Mengetahui hal itu, Batara Guru lalu memasuki tubuh Sadewa lalu Batari Durga diruwat sehingga menjadi batari yang cantik kembali. Hutan Setragandamayu lalu menjadi tempatyang indah. Setan dan lelembut lalu menjadi dewa. Sadewa kemudian diberi nama baru oleh Batara Durga dengan nama Sudamala yang artinya membersihkan kotoran. Batari durga yang sudah menjadi Dewi Uma kembali lalu menasihati sadewa untuk pergi ke Patapan Prangalas untuk mengawini Dewi Padapa, anak Bagawan Tambrapetra. Kakak Sadewa bernama Nakula lalu juga menyusul ke pertapan tersebut. Kedua satria itu lalu dikawinkan dengan anak-anak Bagawan Tambrapetra. Sadewa dan Nakula lalu berhasil mengalahkanKalanjana dan Kalantaka yang keduanya lalu berubah ke wujud asli sebagai dua orang widadara (Poerbatjaraka:1954:78). Demikianlah cerita ringkas Kidung Sudamala yang ceritanya juga dipahatkan pada relief Candi Sukuh tersebut.

2.2. Cerita Garuda

Cerita tentang garuda atau lebih dikenal sebagai cerita Garudeya merupakan bagian dari cerita Adiparwa dari Mahabharata. Diceritakan bahwa Kasyapa memiliki istri 29 orang. Dua di antara istri-istrinya itu bernama Kadru dan Winata. Kadru memiliki anak berupa ular sedang Winata memiliki anak berupa garuda. Suatu hari Kadru dan Winata bertaruh mengenai warna kuda yang akan muncul bersama air amrta. Keduanya bertaruh bahwa yang salah akan menjadi hambanya. Kadru mengatakan bahwa kuda akan berwarna biru sedang Winata mengatakan bahwa kuda akan berwarna putih. Ternyata kuda yang muncul berwarna putih. Karena tidak mau kalah, Kadru lalu menyruh anak-anaknya yang berupa ular untuk menggigit kuda tersebut dengan bisanya sehingga berwarna biru. Akhirnya, Winata kemudianm enjadi hamba Kadru karena kelicikan Kadru.

Garuda di Candi Sukuh Anak Winata yang berwujud garuda lalu berusaha menolong ibunya. Para naga bersedia membebaskan Winta kalau garuda dapat menyerahkan kepada mereka air amrta. Dengan susah payah Garuda berhasil mendapatkan amrta dan membebaskan ibunya. Para dewa lalu juga berhasil merebut air tersebut dari para ular naga.Batara Wisnu dengan kecerdikannya berhasil mengalahkan garuda sehingga menjadi kendaraannya (Zoetmulder, 1985:81)..

3. Korelasi Candi Sukuh Bagi Pembelajaran sastra Tradisionil

Setelah memperhatikan uraian-uraian di atas, maka tampaklah bahwa bagi pembelajaran sastra tradisionil, Candi Sukuh memiliki korelasi untuk pengembangan wawasan mahasiswa. Korelasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

3.1. Bukti Eksistensi Cerita dalam Teks

Dengan memperhatikan Candi Sukuh, maka tampaklah secara riil bahwa teks-teks Jawa Kuna yang ditemukan dan dibahas pengkajiannya merupakan teks-teks yang pada masa lalu betul-betul memiliki eksistensi. Eksistenti tersebut tampak dalam Candi Sukuh dengan gambaran relief yang diambil dari teks klasik, khususnya Adiparwa, bagian awal atau yang sering dikenal dengan judul cerita Garudeya atau Samodramantana dan Sudamala.

Di dalam arca-arca di Candi Sukuh digambarkan tentang kedua cerita tersebut seperti tampak gambar-gambar adegan dalam Sudamala yang melibatkan Sadewa, Durga, Kalanjana, dan sebagainya. Sementara dari cerita Adiparwa digambarkan kura-kura jelmaan Wisnu, gambar garuda, dan sebagainya. Dengan melihat eksistensi cerita dari candi yang dibuat pada abad ke-15 itu, maka mahasiswa menjadi semakin sadar bahwa cerita tersebut di zamannya merupakan cerita yang sangatbermakna, setidaknya menjadi salah satu kepercayaan ritual penguasa hingga dibuatkan sebuah candi. Kehadiran teks-teks tersebut juga merupakan teks sakral karena candi perupakan tempat persembahyangan.

Bukti-bukti tersebut menunjukkan besarnya pengaruh suatu teks di dalam suatum asyarakat. Setidaknya masyarakat pada waktu itu sangat mengenal teks tersebut dan teks tersebut secara luas menjadi pengetahuan umum. Sampai dewasa ini teks tersebut masih terasa jejak-jejaknya di Banyuwangi dengan adanya cerita tentang asal-usuk kota Banyuwangi yang diceritakan sebagai keturunan Sadewa yang cerita tersebut sebenarnya merupakan awal dari cerita Sudamala. Cerita tentang asal-usul Banyuwangi tersebut terdapat dalam cerita Sri Tanjung. Karena itu, teks Sudamala pada waktu dulu tentunya merupakan suatu teks yang tersebar luas di Jawa.

3.2. Bukti Transformasi Teks ke Dalam Relief

Di dalam ilmu sastra dikenal adanya teori resepsi yang membicarakan tentang aspek pembaca. Teori ini menekankan kajiannya pada unsur pembaca dan proses pembacaan karya sastra sehingga teori ini dapat dikategorikan sebagai pendekatan pragmatik terhadap karya sastra (Abrams, 1981:6). Pendekatan karya sastra yang menekankan pada unsur pembaca sebenarnya bukan hal baru. Melalui karyanya berjudul Poetics, filsuf Yunani Kuna, Aristoteles mengemukan konsep katarsis sebagai kategori suatu utama pengalaman estetik (Holub, 1984:13).

Candi Sukuh merupakan wujud nyata adanya resepsi terhadap teks Adiparwa dan Sudamala sehingga teks tersebut dikonkretkan dalam bentuk relief-relief dan arca-arca. Hal itu terjadi karena masyarakat menanggapi teks tersebut lalu ingin mengekspresikan kembali dalam bentuk tanggapan yangberupa reproduski kreatif di candi tersebut. Untuk pembelajaran, maka mahasiswa perlu diajak mengapresiasi dan mengintrepretasi peristiwa tersebut dengan cara mengunjungi dan diberi penjelasan seperlunya.

3.3. Visualisasi Teks

Dengan adanya teks dan adanya relief, maka akan tampak bagaimanamenurut konsepsi orang Jawa pada pada ke-15 mengenai gambaran teks tersebut secara viasul. di dalam teks tersebut dikenal tokoh-tokoh wayang, maka visual tokoh wayang tersebut tergambar dalam relief-relief tersebut. Relief-relief tersebut sangat bermakna bagi sejarah perkembangan kebudayaan, khususnya bidang seni rupa. Bila dibandingkan dengan bentuk wayang dewasa ini, maka akan tampak beberapa persamaan, namun ditemukan pula perbedaan. Yang jelas wayang dewasa ini sudah kental dengan nuansa stylir sementara gambar pada candi-candi memiliki nuansa realis yang lebih nyata.

4. Penutup

Pada penutup ini penulis perlu menegaskan bahwa suatu candi seperti Candi Sukuh dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran sastra tradisionil, yaitu dalam korelasi menemukan hubungan antara teks-teks klasik dengan relef-relief dan arca-arca yang ada di suatu candi.

Metode pembelajaran ini dapat diperluas pada candi-candi dan peninggalan lainnya yang relevan seperti pemanfaatan Candi Prambanan dan Panataran untuk teks Ramayana, Candi Cetha untuk teks Bima Ruci, candi Borobudur dan Mendut untuk teks-teks Budha dan sebagainya. Relevansi tentu saja disesuaikan dengan pokok bahasan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H., 1991. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press
Holub,Robert C. 1984. Reception Theory : A Critical Introduction. London dan New York: Methuen.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.

No comments: