Your Ad Here

Mari Menulis Sasta!!!

Laman ini dibuat untuk berbagi bersama penikmat sastra. Mari meningkatkan kembali ranah sastra Indonesia yang sudah mulai meredup ini. Bagi Anda yang ingin berpartisipasi, silakan kirim naskah sastra Anda ke; aamovi05@gmail.com dan pastikan tulisan sastra Anda ada di blog ini.
salam sastra Indonesia

Thursday, February 18, 2010

Teks Sastra Dalam Empat Pengkajian

Oleh Edi Miswar Mustafa

Mahasiswa Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Alumnus Sekolah Menulis Dokarim.

Istilah analisis cenderung dianggap negatif dalam perfiksian. Kesan yang timbul ialah proses potong-memotong, mengiris-iris satu karya sehingga menjadi irisan yang tak sedap lagi dinikmati oleh khalayak pembaca. Namun, prasangka tersebut menjadi tak banyak benarnya ketika dipertautkan dengan teks-teks sastra yang sekiranya perlu dipahami dengan baik. Di mana untuk memahami satu karya kita dibebani oleh kompleksitas unsur-unsurnya. Persoalan kemudian yang timbul meruyaknya perbedaan pendapat dan penafsiran tentunya sama sekali bukan terpenting apabila pada tiap kajian memiliki argumen yang dapat dimaklumi.

Ada empat kajian perfiksian yang dirumuskan Burhan Nurgiantoro dalam bukunya, Pengkajian Fiksi. Pertama, kajian struktural yang berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto, 1986: 136). Maksudnya adalah analisis kata-kata dalam kalimat, kalimat-kalimat dalam alinea dan konteks wacana yang lebih besar. Juga analisis fungsi dan hubungan antara unsur latar waktu, tempat, dan sosial budaya dalam analisis latar. Kedua, analisis relasi intertekstual, ialah kajian hubungan antarteks dalam satu periode (karya-karya angkatan 2000-an) maupun dalam periode yang berbeda (misalnya karya angkatan 70-an dengan angkatan 2000-an).
Kenyataannya, dewasa ini banyak kalangan yang mulai pesimis dengan kajian struktural. Konsep otonom dalam karya sastra dianggap lemah karena sesungguhnya ada lelatu lain dalam suatu pelahiran teks. Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial-budaya dan atau latar belakang kesejarahannya akan menyebabkan karya itu kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan maknanya akan sulit ditafsirkan. Umpamanya dalam ”Bingung”, cerpen almarhum Hasyim KS yang menceritakan malaikat-malaikat bingung karena banyak manusia meninggal dengan nomor urut meninggal di luar ketentuan yang telah ditentukan oleh Yang Maha Perkasa. Dalam kaitannya dengan realitas ke-Aceh-an, cerpen ini semacam hiperbola, melebih-lebihkan kondisi ranah ini yang dijadikan taman berperang yang tak kunjung henti.

Kajian intertekstual berpunca dari alasan bahwa suatu karya ditulis tidak mungkin (dihamilkan kemudian dilahirkan) tanpa berpijak dari pijaran budaya-budaya yang telah ada sebelumnya. Termasuk konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Contohnya, sebelum Hamzah Fansury menulis seperti Hikayat Nun Farisi, Hikayat Burung Pinggai, ia tentu saja telah berkenalaan dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya, kemudian sebelum Azhari dan sastrawan-sastrawan Aceh lainnya; apakah mereka akan menciptakan karya-karyanya tanpa lebih dulu berkenalan dengan karya lain dalam khazanah sastra dunia.

Dalam kajian yang lain dikenal dengan nama kajian semiotik. Namun, perlu diterangkan di sini bahwa semiotik ialah ilmu untuk mengkaji tanda; sesuatu yang mewakili gagasan yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Pelahiran tanda dalam semiotik komunikasi, menurut Umberto Eco (penulis novel The Name of The Rose), adanya pengirim informasi, penerima informasi, sumber, dan tanda-tanda, saluran, proses pembacaan, serta kode. Misalkan dalam lirik puisi Chairil Anwar yang berjudul ’Penerimaan’; Kalau kau mau kuterima kau kembali/ bak kembang sari sudah terbagi/ jangan tunduk / tentang aku dengan berani. Pada penghabisan puisi ini; sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Bukankah kita menjadi ragu untuk yakin bahwa sebenarnya kembang sari sudah terbagi menandakan perempuan sudah dinikahi oleh orang lain selain si narator dalam puisi tersebut?

Ada satu kajian sastra yang dianggap pembalikan dari kajian-kajian sebelumnya, terutama sekali kajian struktural, yaitu dekonstruksi. Kajian ini meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam suatu teks yang memproduksi dasar argumen yang merupakan konsep utama. Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah karya.

Contoh asumsi ini pada novel Siti Nurbaya. Sudah menjadi rahasia umum pada sebagai apresian novel tersebut bahwa Samsul Bahri dianggap sebagai tokoh yang disayang dan dikasihani karena kehidupannya yang tak dapat meraih hidup yang rekah dengan Siti Nurbaya, gadis idamannya. Sementara itu, Datuk Maringgih, si tua bangka, adalah tokoh yang tidak dikasihani dan disayang pembaca karena sosok ini dengan muslihat liciknya dalam novel tersebut berhasil memperistri Siti Nurbaya.

Akan tetapi, kajian dekonstruksi melihat dengan kacamata lain. Samsul Bahri tidak layak mendapat asumsi umum, yakni disayang atau dikasihani oleh pembaca, karena sebagai anak dari bangsa yang terjajah, ia bukan melawan kekuasaan pemerintah kolonial, melainkan justru bergabung dengan pihak penjajah menumpas api pemborantakkan bangsanya. Hanya karena kegagalan cinta terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan bangsa yang sedang terpijak di mana-mana. Hal itu menunjukkan bahwa ia punya mental anak mami, mental yang lemah, bukan seorang laki-laki yang kuat. Setelah usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu kompeni. Kemudian, ketika berada di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Apapun alasannya, ihwal tersebut sama saja dengan memerangi saudara-saudaranya sendiri. Ia adalah pengkhianat bangsa. Dia sama sekali tidak patut disayangi oleh pembaca, bahkan untuk seorang kekasih yang ideal sekalipun di zaman modern ini.

Nah, begitulah empat kajian tersebut saling bertarung memperebutkan pembenaran dalam karya sastra. Jika ditelisik lebih, simak bagaimana kajian perfiksian coba dipermak kesemuanya melarung pada satu jawaban; bahwa tujuan dasar kerja analisis kesastraan, baik fiksi, puisi, drama, film, untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskan pada pembaca yang kurang memahfumi suatu karya. Kerja analisis hanya sekedar sarana untuk memaknakan karya-karya kesastraan itu sebagai satu kesatuan yang padu-dan-bermakna, bukan sekedar bagian per bagian yang terkesan sebagai suatu iris-mengiris dan potong-memotong seperti yang telah saya katakan di pembuka tulisan ini.

No comments: